Refleksi
Maret 3, 2014 § Tinggalkan komentar
Menyaksikan wawancara walikota surabaya, Bu Risma, dengan Najwa Shihab dalam talkshow yang ditayangkan oleh salah satu tv swasta memberikan gambaran tentang betapa bobrok dan boroknya moral muda-mudi di negeri ini. Dalam salah satu cuplikan ditunjukkan betapa pilunya hati Bu Risma selaku narasumber maupun kami yang memandang dari layar kaca saat beliau menceriterakan bagaimana siswa SD dan SMP di Surabaya sudah mengenal baik dunia gelap prostitusi. Kisah yang membuat mulut menganga dan hati teriris saat tahu bahwa pelanggan PSK yang sudah over-aged adalah bocah-bocah yang baru beranjak remaja.
Sudah separah itukah kondisi mental anak-anak saat ini? kemana orang tua mereka? Apakah mereka tidak berada dalam pengawasan yang baik?. Semua pertanyaan tersebut bergulat hebat di otak gue.
Berkaca dengan 25 tahun hidup kehidupan gue, rasanya hal-hal yang beririsan dengan kriminal, seks bebas, narkoba sangat jauh dari situasi yang pernah gue alami. Gue hanya berada dalam terminologi “tahu” namun tidak untuk mendekati apalagi mencoba. Gue pun menyadari bahwa keluarga dan lingkungan adalah faktor utama yang mampu melindungi seseorang dari semua bentuk kenakalan remaja.
Keluarga adalah faktor penting yang pertama kali mendapat sorotan. Orang tua gue tidak mewarisi harta berlimpah. Tidak juga mengasuh gue dalam kehidupan serba ada. Beruntungnya gue mempunyai kakak-kakak yang selalu membimbing ke jalan yang bener. Gue selalu dididik untuk menjadi orang yang baik dalam perspektif agama dan sosial.
Kakak gue melakukan proteksi yang “keras” dengan memarahi bahkan menampol jika gue melakukan hal-hal nakal yang mencoreng nama baik keluarga. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa kekerasan fisik akan membentuk karakter pendendam dan pemberontak, tapi tidak juga. Karakter yang keras berhasil membentuk gue jadi resisten terhadap kenakalan remaja. Namun pendidikan karakter yang keras harus diimbangi dengan doktrin agama yang juga memadai. Walau tidak berada di lingkungan pesantren, keluarga gue selalu mendoktrin pada setiap anggota keluarga untuk senantiasa mendirikan sholat dimanapun berada. Kami tidak mengaji kitab kuning, tapi setidaknya sholat lima waktulah yang turut menjaga kami dari segala keburukan.
Gue tidak berasal dari keluarga parlente atau mewah. Malah bisa dibilang gue datang dari keluarga biasa-biasa saja jika tidak mau dibilang kere. Gue sudah terbiasa berada dalam kondisi yang serba sulit.
Keadaan yang membentuk mental gue menjadi lebih terlatih bahwa dalam setiap kepingan kebahagiaan yang lo peroleh, ada keringat dan darah orang lain di baliknya.
Dengan menyadari itu, gue tidak tumbuh menjadi anak yang manja dan berleha-leha dan secara otomatis, gue membentengi diri dari hal-hal negatif.
Level kenakalan terparah gue selama hidup terhenti pada merokok secara sembunyi-sembunyi. Itupun gue bakal dirajam sampe bego kalo sampe ketahuan. Bersyukurnya, gue tidak menemukan kenikmatan atau lebih tepatnya belum sampai pada level menyadari nikmatnya menghisap nikotin dan tar sehingga terhindar dari adiksi yang “mengikat”.
Faktor kedua adalah lingkungan. Bagi mereka yang hidup merantau, bekal yang ditanamkan oleh keluarga adalah pondasi yang menguatkan ketahanan moral. Pondasi ini akan diperkuat atau diperlemah tergantung dari bagaimana kita memilih lingkungan tempat bernaung. Karena teman dan lingkungan adalah refleksi dari diri kita. Berteman dengan penjual parfum, kita akan kecipratan wanginya. Berteman dengan pandai besi, kita akan ikut gosong.
Dari kecil, lingkungan tempat gue bergaul adalah lingkungan yang tidak pernah beririsan dengan kenakalan yang mencemaskan. Mungkin kenakalan dalam level minimum tidak bisa dihindari. Mencuri klep motor, memainkan petasan di tengah kampung adalah beberapa kejahatan kecil yang sering kami lakukan. Tapi tidak lebih dari itu. Gue sangat anti dengan tawuran, minuman keras, narkoba, free seks.
Dunia kampus memberikan akses yang lebih luas untuk memilih lingkungan dengan segala jenis penawaran. Lingkungan para aktifis, lingkungan kebaikan, atau lingkungan yang berada dalam domain keburukan. Kita yang memilih itu semua. Lagi-lagi, pondasi yang kuat yang pernah ditanamkan oleh keluarga gue sangat berpengaruh pada lingkungan seperti apa yang akan kita pilih.
Pandai pandailah memilih teman bergaul. Berbaur boleh tapi jangan sampai tercampur. Menjadi minyak di tengah lautan akan menyelamatkan lo ketimbang memaksa diri menjadi alkohol yang kemudian pasrah bercampur bersama air.
Gue merasa sangat bersyukur tidak mengenal dunia kelam prostitusi atau narkoba karena gue tidak bisa menjamin bahwa ketika satu kaki berada di dalam kubangan lumpur, gue hanya akan mencelupkan sedikit ujung jari untuk merasakan seperti apa kotornya ia. Alih alih, gue malah khawatir jatuh terjerembab hingga sekujur tubuh dipenuhi oleh noda. Bukan berarti ingin menegasikan tagline ga ada noda ga belajar tapi gue takut kalo diksi itu terhenti pada level “noda” tidak merangkak naik ke level “belajar”.
Gue pun merefleksikan kehidupan yang gue rasakan dengan kondisi anak-anak seperti yang diceritakan oleh Bu Risma. Bahagia itu terasa menjadi semakin sederhana. Ia bukanlah berbentuk materi dan segala turunannya. Bahagia bisa dirasa saat kehidupan kita, iman kita, kondisi keluarga kita jauh lebih baik dari orang-orang di luar sana.
Seperti inilah bagaimana peran keluarga dalam membentuk kepribadian gue. Gue akan menjadikan standar kehidupan ini sebagai refleksi yang akan digunakan untuk anak dan cucu nantinya. Meskipun dunia berbeda, namun substansi pendidikan karakter ini akan tetap gue pertahankan.
Gue yakin keluarga kalian melakukan hal yang sama, bukan? So, don’t disappoint them.
Sumber Gambar
Tinggalkan Balasan