#15 Desfri Anggraini

Januari 30, 2014 § 3 Komentar

Image137Di sebuah sekolah yang terletak di pinggiran Jalan Sudirman, tampak beberapa siswa tengah menguap. Sesekali mereka mengusap mata yang perih karena tak kuat menahan kantuk. Sebagian lagi tampak begitu gelisah, bergumam dalam hati dan sepakat bertanya-tanya kapan penderitaan ini akan berakhir.

Sebenernya mereka tidak disuruh memastikan besaran tegangan listrik melalui respon kulit atau membedah perut bayi beruang prematur. Namun kelas biologi tidak pernah menarik. Kecuali untuk sebagian orang.

Angin bertiup riuh, menyemangati gue untuk menyandarkan kepala di atas meja, lelah mendengarkan teori mendel, genotif dan fenotif. Di depan kelas, sosok guru dengan kacamata tebalnya dan suara yang menggelegar memaksa kami melawan rasa kantuk dengan sekuat tenaga. Guru tersebut tak rela jika kami tertidur di kelas. Ia kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang baru saja dijelaskan. Suasana kantuk berubah menjadi tegang. Wajah-wajah lelah setelah menerima serangan biologi bertubi tubi kini berubah menjadi ekspresi panik. Gue pun mendadak tercekat, suara gue terasa berat mirip bayi lagi ngemil beton.

Tak berselang lama, gue teriak dalam hati saat menyadari bahwa yang beruntung untuk menjawab pertanyaan pertanyaan seputar mitosis, meiosis adalah temen gue yang duduk di sudut kiri kelas.

Satu per satu pertanyaan dilemparkan oleh sang guru. Otak kami sudah tidak fokus. Kami berharap sosok teman kami yang menjadi “tumbal” mampu menguras waktu hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi.

Jackpot!

Bel berbunyi saat proses tanya-jawab ke-192 tentang evolusi kodok menjadi kera. “Horeee!!” teriak kami serentak dalam hati. Penderitaan pun segera berakhir. Semua mulai sumringah, bersemangat untuk mengakhiri kelas.

Ekspresi kegembiraan perlahan tercoreng saat melihat mimik wajah memelas dan sedih “sang juru selamat”. Ia yang berhasil mengalihkan perhatian ibu guru biologi dengan pertanyaannya secara tiba-tiba, tanpa komando, berteriak dengan kencang dan…. Cempreng!!.

Kelas yang awalnya gaduh oleh persiapan mereka yang akan segera pulang sontak terdiam karena teriakan yang mirip kaleng seng tipis digebuk dengan tongkat satpam yang gue pinjem kemarin malem. Nyaring!

Teriakan itu disela dengan isak tangis tersedu. Sambil sesenggukan dia berucap “ayamkuuu mana?”

Ternyata, setelah diselidiki lebih lanjut, kesedihan itu lahir setelah proses “debat” dengan guru biologi. Argumen-argumennya dibantah, umpan pendeknya diintersep, dan tendangannya mampu ditepis.

Ia tak kuasa menahan haru karena menurutnya tidak selayaknya kodok berevolusi menjadi kera. Kodok jauh lebih realistis bertransformasi menjadi pangeran #NowPlaying Pangeran kodok.

Lebih lebih, teman kami ini yang sedari awal bercita menjadi dokter syok saat guru biologi mengatakan

“Kamu tidak pantas menjadi dokter”

Pernyataan yang menohok. Lalu ia pun berniat membuktikan bahwa ia akan membuktikan jika guru biologi tersebut SALAH *pasang iket kepala*.

***

IMG_20140130_163252[1]

Kisah di atas adalah cerita nyata yang diselingin oleh science fiction ngaco. Gue ambil dari fragmen kisah saat kelas 3 SMA yang melibatkan teman kami, Desfri Anggraini atau Ades.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempromosikan air mineral kemasan karena pada kenyataannya kami memang memanggil makhluk kurus putih ini dengan “Ades”.

Ades masuk dalam lingkaran IPA A saat kelas kami sudah berjalan satu tahun. Ia Bersama dengan Vidia, Peri, Marini dan beberapa lainnya berasal dari satu almamater saat sekolah menengah pertama. Sedari awal bergabung bersama kelas barunya, Ades berhasil merebut Vidia dari tangan jahat Edo.

Ades terkenal sebagai siswa yang cerdas terutama untuk pelajaran matematika. Ia dengan mudahnya menyelesaikan pertanyaan integral lipat tiga atau membuktikan 1 + 1 = 2.

Lepas SMA, Ades memilih jurusan kedokteran Universitas Sriwijaya.  Ia berhasil membuktikan bahwa apa yang pernah diucapkan oleh guru biologinya tidaklah benar. Bersama dengan yenni dan icha, yang juga memilih jurusan kedokteran di kampus yang sama, mereka membentuk girl band “TigaNagaImOeTz”.

Setelah merengkuh gelar dokter, Ades memutuskan menikah dengan seorang pria berprofesi sama. Pria beruntung ini menyunting Ades pada tanggal 21-12-13. Selang sehari kemudian mereka melangsungkan resepsi pernikahan.

Pernikahan mereka dihadiri oleh beberapa orang teman SMA. Entahlah apakah sang guru biologi hadir di pesta pernikahan tersebut. Lucu juga kalo ada pengantin yang berteriak lalu menangis tersedu di pelaminan.

Laporan dari temen gue yang datang, tidak ada aksi drama tereak atau tangis. Gue jamin, guru biologi bersangkutan tidak hadir.

Selamat Desfri Anggraini, Kamu beroleh predikat ke-15.

Iklan

Tagged: , ,

§ 3 Responses to #15 Desfri Anggraini

  • desni berkata:

    edo setelah dicampakkan oleh vidia, berpindah ke sebelah putra kaliiiiiiiii…. yura mah selalu untuk sonia wahaha..

  • Wah kisah mbak Ades, hampir mirip dengan saya. Waktu diterima UMPTN jurusan FK, guru-guru saya di SMA banyak yang kagak percaya. Bahkan sejak SMP, guru Biologi sering semprot saya, karena siswa paling payah dan males belajar biologi. Ternyata saya baru sadar untuk menjadi Dokter tidak perlu pintar biologi, tetapi yang penting adalah tidak BUTA HURUF

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading #15 Desfri Anggraini at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: