Teknologi Anti-Mainstream
Desember 20, 2013 § Tinggalkan komentar
Salah satu momen paling menyebalkan di dalam hidup gue adalah saat gue harus menyikati gigi beruang kutub seusai hibernasi. Eh bukan bukan.. Momen yang menyebalkan itu adalah saat gue sedang sholat berjamaah trus ada handphone jamaah lain yang berdering dengan kencangnya dan….. nada dering yang digunakan adalah dangdut koplo pantura yang di mix dengan musik disko nya David Guetta plus sedikit percikan reggae Bob Marley.
Alamak, dalam sesaat lo berasa sedang solat di dalam pub.
“Yaelah lo, kyk pernah ke pub aje”.
Hahaha.. Itu cuma interpretasi tempat dugem yang sering gue liat di National Geographic. Lho?!!!
Sungguh, ponsel berdering dapat merusak konsentrasi peserta solat berjamaah. Untungnya selama ini gue kebanyakan jadi makmum. Kan gawat kalo pas jadi imam, gue lupa itu rakaat ketiga atau keempat. Selain mengganggu bacaan, nada dering ponsel juga berpotensi menimbulkan interferensi jamaah solat berupa prasangka di dalam hati yang seolah berbicara, persis saat ibu tiri merencanakan misi bales dendam ke Nikita Wily sambil ujung mata lirik-lirik penuh kemurkaan.
“ish, handphone siapa sih itu ganggu solat gue aja” (ceritanya ngomong dalam hati)
Seharusnya setiap orang yang ingin melakukan solat berjamaah sadar bahwa ponsel mereka harus dinon-aktifkan nada deringnya atau jika perlu dinon-aktifkan sama sekali. Tapi yang namanya manusia selalu menjadikan lupa sebagai alasan. Oleh karena itu, ide liar gue berpikir tentang bagaimana caranya masjid menciptakan mekanisme yang mampu mengendalikan para pengguna ponsel yang “nakal” dan “khilaf” ini saat mereka mengikuti solat berjamaah di masjid.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang memungkinkan setiap sinyal radio ataupun gelombang elektromagnetik lainnya dialihkan atau dihilangkan saat mereka berada di dalam radius tertentu di dalam masjid. Entahlah, gue bukan expert di bidang itu. Tapi gue yakin para ahli teknologi mampu melakukannya. Teknisnya sih teknologi tersebut harus aktif hanya pada jam-jam solat berjamaah. Lebih baik lagi jika bisa terintegrasi dengan penunjuk waktu adzan.
Teknologi tepat guna seperti ini harus lebih banyak dimanfaatkan untuk mengatasi hal-hal yang dianggap sepele namun penting. Coba bayangkan, jika gegara satu jamaah yang nada dering ponselnya terdengar, banyak jamaah lain yang terganggu ibadahnya. Padahal kan sholat itu ibadah yang paling utama.
“Ah, Ali bin Abi Thalib meminta sahabat mencabut panah yang menancap di punggungnya saat beliau sedang sholat. Masa gegara nada dering, sholat kita jadi tidak khusyu”.
Bro, di dalam masjid itu ada banyak orang dengan pemahaman keagamaan yang berbeda-beda. Syukur kalo jamaahnya punya tingkat kekhusyuan solat luar biasa. Lah kalo jamaahnya macem gue, elo boro-boro ada nada dering, nihil gangguan pun konsentrasi udah pecah dengan sendirinya.
Contoh lain dari pemanfaatan teknologi anti-mainstream di masjid adalah penyediaan tools yang sengaja dipasang setiap hari jumat. Tools ini berupa gelombang yang menjalar lewat udara dan bergerak dengan frekuensi tertentu sehingga siapa saja yang tertidur pada saat khutbah jumat, akan mendapatkan sedikit “sengatan listrik” dengan tegangan kecil yang cukup untuk mengembalikan “kesadaran” peserta sholat.
Ide tersebut sangat mungkin dilakukan dengan memahami bahwa saat tidur, aktifitas jantung sedikit melemah. Oleh karena itu, masjid harus menyiapkan sensor yang mencatat perubahan fisik seseorang. Perubahan fisik inilah yang akan menjadi input bagi sensor guna memproses dan menghasilkan gelombang kejut yang dikenakan bagi mereka yang tertidur.
Tentunya juga hal ini sangat beririsan dengan “kebiasaan” para khatib yang menyampaikan khotbah dengan durasi yang panjang. Jika dan hanya jika para khatib mampu memendekkan khotbah tanpa mengurangi esensinya maka teknologi ini mungkin tidak diperlukan.
Pada akhirnya, pemanfaatan teknologi untuk kepentingan ibadah adalah upaya memadukan sains dan agama karena kita tidak ingin agama berada pada satu sisi dan sains berada di sisi lainnya seperti yang pernah terjadi pada era renaissance. Era di mana tumbuh sumburnya ilmu pengetahuan tidak jarang bertolak belakang dengan dogma-dogma gereja yang berkembang saat itu hingga menjadikan seorang Galileo sebagai tawanan rumah karena mendukung teori Heliosentris Copernicus dengan teleskop buatannya.
Tinggalkan Balasan