#12 Apria Mariyati
November 5, 2013 § Tinggalkan komentar
Momen pasca idul fitri benar-benar menjadi salah satu tanggalan terbaik bagi muslim sedunia untuk melangsungkan pernikahan. Gue sengaja membuka kembali undangan-undangan pernikahan yang terserak di notifikasi facebook sambil bertanya-tanya, kapan giliran gue kirim undangan? Apa nanti facebook masih ada di saat itu? *nangis di pojokan*.
Di era media sosial, tidak ada lagi hambatan bagi seseorang untuk menginformasikan berita bahagia yang mereka alami. Jangankan undangan pernikahan, jatuh cinta, menang hadiah, naik kelas pun menjadi sebuah konteks kebahagiaan yang tersebar, sehingga banyak orang menjadi well-informed.
Kali ini gue akan berkisah tentang pernikahan anggota IPA A yang juga adalah temen SMP gue, Apria Mariyati.
Apria, dari namanya saja kita bisa menduga bahwa dia seorang wanita. A-pria, A adalah bukan dan pria adalah laki-laki. Jadi A-pria secara gamblang menginformasikan bahwa dia adalah seorang wanita. Karena dewasa ini tidak jarang kita menemukan nama “Mawar” yang ternyata adalah seorang pria. Miris.
Apria, sama halnya dengan gue, adalah penganut aliran R-iyah. Kami tidak bisa mengartikulasikan huruf tersebut dengan benar. Kami sedih karena aksen prancis kami bener-bener tidak dihargai di negara ini. R kami yang khas Palembang terkadang jadi bumerang.
Gue kenal Apria sejak duduk di Madrasah Tsanawiyah dan menjadi temen sekelas gue saat kelas 3. Dari kacamata gue dulu, dia anaknya pendiem dan pinter. Lepas SMP, kami ternyata dikumpulkan di SMA yang sama dan berada di satu kelas selama tiga tahun pelajaran.
Apria bener-bener pendiem. Mungkin bisa dihitung berapa kali dia bicara dalam setahun. Tapi ternyata di balik pelitnya Apria dalam bicara tidak berbanding lurus dengan volume suara yang dihasilkan. Suaranya kenceng, rek. Cukup dengan mendengar Apria teriak “Waktunya istirahat” dari lantai dua sekolah, maka kami semua bisa langsung bubar dari kelas untuk menuju kantin-kantin terdekat.
Selama tiga tahun, Apria duduk satu bangku dan satu posisi dengan Maya, the KID. Entah apa yang membuat mereka mesra dan setia duduk di posisi yang sama. Mengapa harus di pojokan? Mengapa harus di sebelah kiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini membuatku menjadi bingung. Siapa aku sebenarnya? Mengapa aku di sini? Siapa ayahku? *kemudian hening*.
Tiga tahun masa SMA, tidak membuat kami tahu dimana Apria tinggal. Kami bahkan sempat meminta Ki Gedeng Pamungkas buat mencari lokasi rumahnya. Dia termasuk yang ogah-ogahan dateng kalo ada acara kumpul-kumpul atau temu kangen selepas SMA. Kondisi ini membuat foto Apria sangat jarang tersimpan di harddisk komputer maupun ponsel gue.
Lepas SMA, Apria melanjutkan kuliahnya di jurusan Matematika FKIP UNSRI. Keputusan ini kemudian yang menjadikan dia sebagai seorang guru kelak di kemudian hari. Di bangku kuliah, dia bertemu dengan anggota IPA A lainnya, Endang. Entahlah, mungkin FKIP Matematika sengaja memilih gadis-gadis berjilbab, pendiam dan memiliki suara dengan tipe “loudspeaker”… hahaha.
Menurut penuturan Endang, Apria adalah tipe mahasiswi yang rajin. Setiap ada jadwal kuliah, dia memilih bangku paling depan bahkan sengaja menyediakan kursi persis di depan meja dosen dan selalu menolak jika diajak untuk duduk di belakang. Dedikasinya terhadap dunia pendidikan patut diacungi jempol. Semoga kelak Apria mendapatkan penghargaan atas karya hebatnya. Mungkin duduk di bangku paling depan selama masa kuliah adalah pesan terakhir dari Maya, temen sebangkunya saat SMA.
Apria tetap rajin hingga duduk di bangku kuliah. Kemana-mana selalu membawa buku. Sebuah kebiasaan baik yang sangat patut dicontoh.
Masih berdasarkan penuturan Endang selaku saksi hidup bagaimana Apria di kampusnya. Apria jauh lebih langsing sejak masuk kuliah dibandingkan saat masih berseragam SMA. Sepertinya dia lebih banyak mengunyah buku daripada mengunyah nasi. Yang jelas OCD mah lewat.
Apria akhirnya menikah dengan seorang guru. Suaminya menempuh pendidikan di jurusan Penjaskes di kampus yang sama.
Resepsi pernikahan berlangsung di aula universitas tridinanti. Acara pernikahan berlangsung khidmat dan dihadiri jua oleh wali kelas kami, Ibu Rosmidawati. Sebuah kebetulan bisa bertemu dengan guru kesayangan kami ini.
Cukup banyak member Ipa A yang hadir di pernikahan Apria termasuk Gue, peri, dedy, endang, Ragil, vidia dan suami. Barokallahu lakuma Apria 🙂
Selamat Apria, kamu dapet gelar ke-12.
Tinggalkan Balasan