Mak Comblang

September 6, 2013 § 4 Komentar

cat“Cinta Sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, atau apalah sebutannya, Tapi sayangnya, orang orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Jika berjodoh, tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan”.

Paragraf di atas merupakan kutipan dari novel Tere liye. Mengapa gue jadikan sebagai awalan? karena menurut gue, apa yang Bang Tere bilang bener-bener mengena. Tepat sasaran, melesak menghujam dan menohok perlahan. Bukankah banyak dari kita yang dengan tergesa memaksakan apa yang mereka sebut sebagai cinta?

Kisah cinta dalam film “serendipity” gue rasa bukan sekedar peran belaka. Bukankah dikisahkan bahwa jodoh tidak perlu dipaksa atau diada-adakan. Ia sudah didesain dengan serupawan mungkin.

Banyak kisah bagaimana seseorang menemukan pasangan hidupnya dengan cara tak terduga. Ada sahabat sepanjang masa kemudian bersatu dalam ikatan cinta, ada yang bertemu di jejaring sosial dan tertarik karena kemiripan nama, dan yang paling pasaran adalah kisah jatuh cintanya seorang wanita pada pria yang menabraknya. Kok bisa-bisanya habis ditabrak malah saling pandang hingga timbul benih-benih asmara.

Kalo saja mereka yang tertabrak bisa dengan mudahnya jatuh cinta dengan si pengendara, Apriyani bakalan bikin acara kawinan massal di sekitar tugu tani.

Dan di antara berbagai misteri bagaimana seseorang bertemu dengan pasangannya adalah melalui proses perjodohan melalui orang ketiga atau kita sering menyebutnya dengan mak comblang.

Entahlah dari mana istilah “mak comblang” lahir. Gue search di gugel, gugelnya geleng kepala, “nyerah mas” kata mbah gugel sambil melambaikan tangan ke arah hary pantja.

Gue Dijodohin!!!

Belakangan ini gue sering banget dijodohin. Mulai dari temen SMP, sahabat SMA, rekan kuliah hingga komunitas ngetrip. Mulai dari penawaran yang baik sampe yang paling ngaco. Masa mereka mau ngejodohin gue sama mannequin jilbaban yang dipajang di tanah abang. Gue ga sedesperate itu juga meenn!!.

Gue sebenernya terharu sekaligus miris dengan kelakuan temen-temen yang sibuk mencarikan jodoh. Can you imagine, Setiap ada cewe berusia 18-25 tahun yang mereka temui di jalan, di tempat makan, di gorong-gorong, selokan, maka mereka dengan sukarela mengambil foto wanita-wanita malang tersebut dan berbagi fotonya ke grup whatsapp  sambil teriak “dooo (nama panggilan gue), ada cewe berjilbab nih”. Dan gue dengan lidah terjulur dan berliur menjawab “mana, mana, mana?”.

Sebenernya salah gue juga yang terlalu bersemangat membahas sesuatu yang berbau jodoh. Apa-apa yang berkorelasi dengan wanita berjilbab, pernikahan, buku nikah, katering, pre wedding kini selalu dikait-kaitin sama gue. Padahal terkadang gue ngelakuin itu semua agar grup ngobrol menjadi lebih hidup dan seru (ngeles).

Yang terprogram dalam otak bawah sadar temen gue adalah, prasayarat cewe yang disukai dodo mutlak harus  berjilbab/kerudung. Jadi ketika ada seseorang yang terindikasi perempuan dan mengenakan jilbab, semua aja disodorin.

“Udah dua kali nikah dan solehah banget, mirip mamah dedeh”, ujar temen gue menawarkan nenek-nenek di sebelah rumahnya. Kamprettt. Ga nenek-nenek juga kali.

Lain waktu ada yang mencoba memasangkan jilbab pada bencong taman surapati, “kan yang penting jilbab” mereka berkata seraya tertawa terbahak. Gue pun nangis darah.

Tapi tidak sedikit juga yang mencoba menjodohkan wanita tulen. Paling tidak, di potonya mereka tidak kekar dan keriputan, apalagi kaku bak patung. Semoga foto tersebut bukan hasil editan photosop. Temen-temen gue ini baik pisan. Ada yang japri no hape plus foto temen deketnya, ada yang mau ngenalin temen kampus hingga temen kosannya. Mereka beranggapan gue sedang dikejer deadline, kebeleter kawin. Kalo ga nikah dalam waktu deket, gue bakal balik lagi jadi manusia. Seketika gue berasa seekor babi ngepet.

Sebenernya jodoh-jodohan melalui orang ketiga adalah aktifitas yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Proses penjodohan lewat perantara bisa bertendensi pada kebaikan dan sebaliknya. Kenapa? Karena pada dasarnya, proses penjodohan ini melalui tahap seleksi, paling tidak dari mereka yang menjodohkan. Tidak mungkin perantara/mak comblang menjodohkan seseorang dengan orang lain yang tidak dikenalnya dengan baik.

Tapi kepercayaan yang berlebih terhadap perantara juga bisa menjadi bumerang, ketika jodoh di hadapan tidak sesuai dengan harapan. Yah ibarat poto, hasil jepretannya diambil dengan aplikasi kamera 360 terus dipoles pake photo editor. Anglenya sekecilll mungkin, sampe yang keliat cuma ujung idung sama ujung bibir. Bagi mereka yang berharap terlalu tinggi, poto tersebut seolah dianggap mewakili. Nah, ekspektasi berlebihan ini terkadang menjatuhkan.

Hakikatnya, proses memilihkan jodoh adalah kewajiban orang tua agar anak mereka mendapatkan jodoh layak nan pantas. Namun proses penjodohan melalui teman, guru ngaji, dan relasi lainnya yang berhubungan baik menjadi sebuah opsi tersendiri.

Gue kenal banyak orang yang menikah melalui perantara orang ketiga. Mereka diperkenalkan satu sama lain, berinteraksi secukupnya dan kemudian menikah dengan kebahagiaan yang terpancar dari binar mata ketika ijab qabul meluncur deras dari lisan mempelai pria. Sudah tidak ada lagi stigma negatif pada proses penjodohan seperti terdongeng dalam kisah siti nurbaya dan datuk maringgi. Kini, saat elo males mencari, atau memang jodoh tak kunjung mendekati diri, maka penjodohan adalah salah satu jalan terbaik.

Jodoh, bagaimanapun cara kita memperolehnya, sejatinya haruslah bermuara pada kebaikan-kebaikan yang tersumber dari koridor-koridor agama dan etika. Gue sering, bahkan terlalu sering “disentil” tentang, “mana cewe lo”? “Mana calon lo”? “Usia segini belom ada calon”?

Menurut salah seorang temen, calon istri gue malah belom lahir. Hahaha…asem banget dah. Tapi gue mah nyantai aja menanggapinya. Gue bilang, “jodoh gue masih di lauhul mahfudz”. Dan seketika mereka buka google maps guna mencari koordinatnya :(.

Kisah Salman Al-Farisi

Salah satu kisah terbaik dalam proses mencarikan jodoh orang lain adalah kisah salman al farisi yang suatu ketika sedang mencari jodoh. Terkisah kemudian sang sahabat, Abu Darda, mengantarkan Salman Al-Farisi pada gadis yang ingin disunting. “Saya datang untuk meminang putri anda, untuk saudara saya ini Salman Al Farisi”, Abu Darda melanjutkan.

Ternyata, sang putri sholehah telah mendengar percakapan ini di balik tabir. Sang Ayah wanita pun bercakap bahwa segala keputusan diserahkan kepada sang anak tercinta. Malang tak dapat ditolak, sang wanita nan sholehah menolak pinangan tersebut.

Tapi ada yang lebih mengejutkan. Prosesi pinangan tidak terhenti pada “penolakan” secara halus sang wanita. Ibunda tercinta kemudian melanjutkan kata, “Namun jika Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami lebih memilih Abu Darda sebagai calon suaminya”.

Wow… Terbayangkah oleh kalian, bro. Betapa kalau kita pada posisi yang sama. Hancur hati, lebur, sedih tak terukur. Ketika pinangan telah tertolak, cinta bertepuk tak berbalas. Dan kini, ternyata sang wanita mengidamkan sahabat kita, sahabat yang menjadi perantara dalam pinangan terindah, mengidamkan ia sebagai pendamping hati.

Tapi disinilah letak kemuliaan seorang salman al farisi. Arsitek perang khandak, sang pemuda parsi tidak larut bersedih. Ia dengan lantang berujar ” Allahu Akbar!”, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini, akan aku serahkan pada Abu Darda, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!seru Salman.

Waduh, kisah ini kemudian termaktub dalam sejarah.  Jika saja Salman berputus asa, lalu mengakhiri nyawa dengan menghujamkan pisau ke dada, maka kisah ini hanya akan menjadi sebuah romansa picisan yang menjadikan cinta wanita sebagai sesembahan.

Berangkat dari kisah ini, ada hikmah yang bisa kita petik. “Pastiin, ketika melamar seseorang, jangan pernah melalui perantara seorang teman. Atau, kalo memang harus diperlukan, pastikan orang tersebut tidak lebih keren, tidak lebih ganteng, dan tidak lebih kaya daripada elo :D.

Iklan

Tagged: , , ,

§ 4 Responses to Mak Comblang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Mak Comblang at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: