Saat Idul Fitri

Agustus 13, 2013 § 2 Komentar

Ramadhan sudah usai, lebaran pun sudah berlalu sekejap mata. Banyak harapan yang masih kita gantungkan agar bisa bertemu kembali pada ramadhan tahun depan. Euforia idul fitri masih gue rasakan hingga H+5.

Saat sedang bersilaturahim ke rumah salah seorang keluarga, gue iseng-iseng melirik timeline guna mengusir kebosanan saat dikerumuni oleh anak-anak kecil tukang todong dan rampok yang merengek meminta jatah THR mereka. Gue melihat sebuah retweet dari tweetnya pak Anis Baswedan yang berkicau “Obat rindu ramadhan itu adalah meneruskan tradisi selama ramadhan, bukan ngetwit “aku rindu ramadhan!” 🙂 (langsung copas dari timelinenya). Wah bener juga tuh. Kebanyakan orang terjebak dalam retorika. Mengaku rindu ramadhan, tapi hanya sebatas kata. Tidak ada laku kesadaran untuk menghidupkan 11 bulan berikutnya seperti saat ia berada di pesantren ramadhan.

Di antara lebaran-lebaran yang udah 24 kali gue lewati, ada pola yang sama yang selalu terjadi di setiap silaturahim ke rumah keluarga besar. Gue dateng, salam-salaman, duduk manis, cerita-cerita, ketawa haha-hihi, pulang, ngegosipin keluarga laen, dosa lagi, nunggu tahun depan, maapan lagi, ngegosip lagi, maapan lagi. Hihihi. Feel the same?

Selaen pola gosip-maapan-gosip tersebut, ada aktifitas lain saat kita berjumpa dengan saudara jauh yang mungkin baru bisa kita temui setiap satu kali selama satu tahun kalender hijriah

1. Kapan nikah, kapan ini, kapan anu?

kepoSaat scrolling timeline, gue meliat temen-temen yang berkicau dengan panik, gagap, bingung terhadap berbagai kemungkinan pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh keluarga besar mereka pada saat silaturahim seputar “KAPAN MENIKAH”

Salah seorang berkicau “alhamdulillah akhirnya adzan, brb ke masjid biar terbebas dari pertanyaan seputar kapan kawin”. Lainnya juga bernada sama “pertanyaan kapan menikah akan segera hadir, mari bersiap”

Silaturahim pada saat idul fitri selalu menghasilkan pertanyaan-pertanyaan repetisi. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya antara kepo, nyepet, dan iba. Bagi sebagian orang, pertanyaan seperti itu hanya akan membuat galau.

Saat masih mahasiswa, orang-orang terlau sering bertanya seputar “kapan lulus kuliah?”. Pertanyaan ini akan sangat menohok bagi mereka para mahasiswa tuna toga :D. pertanyaan kapan lulus kuliah itu bak pertanyaan dosen penguji killer yang seremnya ngalahin machete saat sidang sarjana dan disaksiin sama calon mertua, its a cold sweat (damn, is that how you address “keringat dingin”?).

Untuk usia-usia produktif kyk gue, pertanyaan tentang “kapan menikah” adalah pertanyaan baku yang akan ditanyakan oleh semua anggota keluarga. Bagi mereka, apa lagi yang kami cari ketika gelar sarjana sudah diraih, pun halnya pekerjaan sudah diperoleh. Kenapa harus menunda pernikahan.

Banyak alesan yang bisa dijadikan sebagai tameng. Miaslnya, “sori gue masih mau mengejar karir dulu, nunggu bos gue mati. Gue ngincer posisi dia”. Atau “aduh jodoh akan
datang di saat yang tepat dengan orang yang tepat” jawaban ini adalah jawaban paling diplomatis antara pasrah dan optimis. LOL.

Ntar, saat lo udah lulus kuliah, udah menikah, pertanyaan berubah diksi menjadi ” kapan punya anak?” Woi, nanya-nanya mulu. Kagak bosen apa?

Kalo udah punya anak satu, masih ada pertanyaan lainnya. Hidup kita bak kisah syahrini dengan bubu atau seperti cerita anang-ashanty. Pertanyaan berikutnya adalah tidak ditujukan ke kita, tapi ke anak kita.

“kapan kamu punya adek?” sambil lirik-lirik ke ibu bapaknya

Arggh, kepo lo. Kalo ada adeknya, ntar ditanya lagi, “adeknya cuma satu aja?”

Pertanyaannya ya gitu-gitu aja, dirunut dari tahun ke tahun. Ga kreatif. Coba ganti pertanyaan “waktu di dalem perut, adek mesen apa pas umi ngidam?”.

Yah tapi itu sunatullah, saat keberadaan kita nun jauh di sana, keluarga hanya bisa mengapdet lewat temu keluarga saat silaturahim. Kecuali semua sodara lo punya fesbuk atau twitter. Cukup diumumin lewat jejaring social. Tapi kalo ga mau ribet, lo bisa minjem TOA masjid, umumin keadaan lo saat ini, istri siapa, anak berapa, kerja dimana.

2. Pamer harta

pamer hartaPulang kampung menjadi ajang unjuk gigi bagi sebagian orang. Beramai-ramai memanfaatkan momen ini untuk bertingkah polah bak Qarun. Umbar-umbar harta hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka sudah sukses ketika menjalani hidup di tanah rantau.

Suatu ketika, gue baca sebuah artikel tentang fenomena PSK dari indramayu. Konon, orang tua mereka ada yang mendukung profesi tersebut guna mengangkat derajat kehidupan keluarga yang sebagian besar adalah petani. Saat pulang kampung, PSK yang sebagaian besar berusia belia ini akan “show off” membawa segala kemewahan yang melekat. Tidak peduli bagaimana cara mereka mendapatkan harta. Parahnya, aktifitas ini menjadi model bagi para pemudi lainnya yang kemudian tergiur untuk menikmati jalan pintas yang ada. *geleng-geleng*

Kan banyak juga tuh yang ga jadi pulang kampung gegara ngerasa ga bisa show-off harta saat pulang kampung. Lo pikir mudik saat idul fitri mirip dengan kontes pencarian bakat? Kalo bawa harta banyak, bisa minta dukungan lewat sms, terus ntar ada pemenangnya dengan hadiah jadi model iklan provider, gitu?

3. Bagi-bagi THR

bagi bagi thrIdul Fitri juga menjadi momen bagi-bagi THR. THR itu adalah ksatria asgard, termasuk anggota avenger. *itu thor woi*. Eh iya.

THR adalah singkatan dari Tunjangan Hari Raya. Istilah ini seharusnya menjadi definisi mutlak untuk uang yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pegawainya sebagai bentuk apresiasi dan penghormatan terhadap hari raya idul fitri. Makna hakiki THR kini berubah menjadi uang yang diberikan secara cuma-cuma dari mereka yang sudah bekerja kepada para “makhluk halus” yang masih ada ikatan darah ataupun tetangga terdekat rumah saat hari raya idul fitri. Atau istilah china-nya “bagi-bagi angpao”.

Bagi para perantau, bersiaplah THR yang lo peroleh pada saat idul fitri hanya akan berpindah tangan nominalnya ke dalam pecahan yang lebih rendah dan dibagikan kepada bocah-bocah ingusan yang “menodong” saat sowan ke rumah. Mereka menggunakan beberapa trik : datang bergerombol atau persuade you with their innocence. Kalo bocah yang dateng selucu Nabila JKT48 sih, gue ikhlas ngasih seluruh THR yang gue punya :D.

Bagi-bagi uang ini sudah menjadi semacem “invisible rules”. Ketika udah kerja, maka menjadi “kewajiban” untuk bagi-bagi kebahagiaan dengan para keponakan dan sepupu walaupun terkadang mereka sudah bahagia dari sananya. What’s a logic. Giliran bahagia dibagi-bagi, gilirain sedih disuruh tanggung sendiri. Yang bikin miris adalah tidak jarang para orang tua ikut ambil bagian dalam prosesi minta upeti THR. arghhh!!

Sekali bagi-bagi uang, maka untuk beberapa tahun ke depan, lo harus selalu mengalokasikan uang dari rekening untuk mensubsidi kebutuhan bocah-bocah sialan tersebut hingga mereka bisa mencari uang sendiri dan berhenti merengek. it will freak you out, much more creepy than “conjuring” as well. You will be enslaved, by those little maggot.

Nih, bagi-bagi THR ini berkorelasi kuat dengan penyakit “show-off” atau petantang-petenteng buat umbar kekayaan. Biar terlihat makin kaya dan sukses, THR yang dibagikan harus dalam nominal yang lebih gede dari siapapun. Kalo tetangga lo bisa ngasih cepek, maka mereka akan memberikan cepek gocap. Ckckck, sungguh pekerjaan mubazir dan tidak penting. Uang habis, dosa dapet. Ke laut aja dah.

Yah pada akhirnya, lebaran adalah “upacara” seremonial terhadap kemenangan kita mengatasi hawa nafsu. Kalo masih aja ada akitifitas-aktifitas berlebihan, mubazir dan niat kesombongan, di mana hasil perjuangan puasa ramadhan kita?

-End of my absurd analysis-

Iklan

Tagged: , ,

§ 2 Responses to Saat Idul Fitri

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Saat Idul Fitri at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: