Masa Orientasi Siswa
Juli 24, 2013 § 2 Komentar
Bulan Juli selalu berarti untuk siswa-siswa se Indonesia mulai dari seragam putih-merah hingga putih-abu. Juli merupakan bulan transisi untuk sekolah negeri dan sekolah umum secara general. Transisi atau perpindahan strata pendidikan, melompat ke level yang lebih tinggi baik secara moral maupun level kesulitan soal matematika.
“Matematika itu sungguh menyenangkan”, kata siswa sekolah dasar. Memasukkan satu buah apel ke dalam keranjang, lalu ditambahkan lagi dua buah jeruk dan tiga buah anggur. Berapa jumlah buah yang ada di keranjang? iya, dulu matematika sesimpel itu. Kita bermain dengan angka-angka yang dekat dengan kehidupan.
Berganti warna seragam menjadi putih-biru, berubah pula level kesulitan pelajaran. Tiada lagi kalimat “aku cinta matematika”, yang ada adalah “oh matematika, hmmm (menghela napas). Engkau dulu sangat indah, saat hanya terdiri atas angka-angka. Tapi kini kau telah terjamah oleh huruf-huruf nista.”.
Saat berseragam putih-abu, siswa-siswi semakin menyadari seperti apa wajah matematika yang sebenernya. Mereka berujar “I hate math, it screws me up. Bagaimana bisa cacing-cacing integral merusak hari-hari gue. Mengapa akarnya tidak bisa dicabut. Mengapa ada akar di dalam akar. Dunia memang tidak adil”. OK gue drama.
Iya, seperti itulah perjalanan seorang siswa. Selain kepastian akan meningkatnya kesulitan mata pelajaran, kenaikan level pendidikan akan mempertemukan seorang siswa dengan sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Seperti general rule pada umumnya, sebelum memasuki gerbang atau pintu rumah orang lain, lo kudu mengucapkan salam serta ikut atau patuh terhadap aturan sang tuan rumah. Pun halnya dengan saat lo masuk ke sekolah baru sebagai siswa baru dengan seragam baru dan potongan kisah yang lama. Kalian harus melalui masa interaksi awal.
Siswa di sekolah mengenalnya dengan masa orientasi siswa (MOS) sementara kampus lebih familiar dengan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).
Membuka arsip sejarah, Masa orientasi siswa sudah ada sejak zaman kolonial belanda, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda (1898-1927). Pada masa itu, mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas dan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti membersihkan ruangan senior. Dan hal itu berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942).
Jadi, masa orientasi siswa sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan lebih tua daripada Boedi Utomo ataupun Sarikat Dagang Islam.
Tujuan dasar dari masa orientasi ini sebenernya adalah mulia. Layaknya orang baru yang masih asing dengan dunia yang sangat berbeda dengan sebelumnya sehingga diperlukan guidance agar lebih mengenal rumah yang akan ditempati, mengenal orang-orang di dalamnya, dan terbiasa dengan aktivitas yang ada. Dengan demikian siswa-siswa baru, atau istilah di sekolah gue dulu adalah “kuncup-kuncup yang tumbuh”, dapat dengan nyaman mengikuti pendidikan dengan bekal yang sudah diperoleh selama masa orientasi. Cacatnya, beberapa oknum memanfaatkan masa orientasi ini sebagai ajang perploncoan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelonco berarti pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya.
Wah merujuk definisi KBBI ini, pelonco memiliki makna positif. Namun, perpeloncoan mengalami distorsi makna. Perploncoan menjadi tameng untuk melakukan aksi-aksi “senior” tolol yang petantang-petenteng melakukan berbagai “abuse” kepada juniornya, verbal maupun physical. “Damn senior acts as a lion, roaring in the zoo”.
Sudah begitu banyak kasus perploncoan yang menelan korban. Mulai dari aksi kekerasan di kampus yang membuat mahasiswanya tumbang (baca : tewas) hingga aksi perploncoan di Sekolah Menengah Atas yang tidak mencerminkan insan bependidikan cerdas nan beradab.
Terlepas dari itu semua, ada baiknya kita mengenang kembali seperti apa wajah masa orientasi Sekolah kita dulu, mulai dari strata sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Ospek mahasiswa sengaja tidak gue bahas karena kualitas dan kultur orientasi siswanya yang sangat berbeda
Masa Sekolah Dasar
Pada umumnya sekolah dasar belum mengenal masa orientasi siswa secara formal. Tidak ada istilah plonco. Gile aja kalo ada anak SD yang disuruh datang pagi-pagi ke sekolahan sambil bawa tas kresek. Atau ada senior yang melakukan agitasi ke siswa baru sambil nyolot nyolot
“heh lo anak baru, tugas gue tntang review puisinya chairil anwar, udah lo kerjain belom?”.
Wow andai ada sekolah dasar yang seperti ini, pasti siswanya layu sebelum berkembang. Tapi lebih baik daripada anak kecil yang doyan lagu coboy junior. Makan aja masih disuapin, udah nyanyi lagu cinta-cinta.
Pada dasarnya, orientasi siswa secara non formal sudah dimulai sejak dini. Siswa baru diajak berkenalan dengan siswa baru lainnya, mengenal guru dengan iringan musik-musik lucu sambil tertawa renyah. Keep my words, temen SD yang lo ajak kenalan saat hari pertama masuk bisa jadi adalah seseorang yang akan menemani lo bertahun-tahun ke depan. Jadi manfaatin masa-masa kalian berteman di sekolah dasar. Ya, walau kalian belum begitu memahami apa itu teman, sahabat.
Persahabatan di sekolah dasar itu tulus. Tak memandang variabel-variabel apapun.
Masa Sekolah Menengah Pertama
Di masa ini, orientasi yang sebenernya mulai terasa. Ia dianggap sebagai peralihan anak-anak ke dewasa atau dikenal dengan masa remaja. Sekolah menengah pertama adalah gambaran kisah yang menyejarah. Lo akan punya gank, cinta pertama, mendalami apa makna persahabatan. Semuanya sangat mungkin terpupuk saat masa orientasi.
Dulu, waktu gue masuk sekolah menengah pertama, ada salah seorang senior OSIS yang sungguh senior. Wajahnya menjelaskan itu. Dengan congkaknya ia menantang kami para siswa baru,
“ayo siapa yang ingin bertanya, pasti akan saya jawab”.
Wah mendengar pernyataan tersebut muncullah pertanyaan-pertanyaan dari siswa baru yang penasaran ingin menguji sang senior
“kak, mengapa Eduard rivere tidak pernah menyatakan bahwa dirinya adalah William shaksepare??” Senior mulai panik.
Pertanyaan lain muncul
“Kakak yang cakep, di antara semua unsur yang ada dalam tabel periodik, mengapa elektron pada unsur golongan logam transisi dapat memenuhi orbital d?”
Sang kakak ganteng mulai memutih mukanya, panik, tercekat, kaku, kelu, malu.
Zaman dulu, zaman gue sekolah dulu (gue kayaknya tua banget), masa orientasi masih menggunakan interaksi fisik. Orangnya ada, bukan lewat dunia maya. Entah kalo di zaman android seperti sekarang. Mungkin orientasinya lewat skype, bikin conference satu kelas. Kenalan secara virtual. Biar akrab, saling follow twitter, tugas tinggal repath. Ada anak baru yang cakep, upload poto di instagram pake hestek #anakcakepdisekolah #diayangmembuatkumabukasmara #kamoohyangselalumenyemangatiakoohh
Masa Sekolah Menengah Atas
Orientasi di SMA gue dimulai sejak pukul 5.30 pagi. Kakak kakak OSIS pasang tampang (sok) galak. Disangar-sangarin. Entah karena abis digebukin bapaknya dirumah, atau gegara ditolak 10 dari 9 cewe yang mereka tembak. Senior-senior ini kompak pasang muka datar. Bener-bener datar, ga ada idung mata mulut, rata. *menurut lo*.
Dengan postur yang tidak atletis, mental mereka gue rasa cukup besar untuk membentak dan menggertak anak-anak baru yang badannya lebih besar dari mereka.
Di kelas baru, gue (sialnya) duduk satu bangku dengan seorang anak lulusan pesantren. Anak lulusan pesantren ini jauh dari santri yang notabene gue liat di tipi. Ia terlihat gemulai dan tidak menampakkan ciri-ciri anak pesantren selain peci yang melekat di kepalanya. Setelah ngobrol-ngobrol, gue baru nyadar bahwa dia adalah seorang model. Alamak, gue shock, kaget, tercengang, kalut. Hampir saja gue makan beling, minum minyak tanah.
Otak gue mencari-cari tahu model macam apa yang masuk pesantren? Apakah dia model iklan sosis? Semuanya jelas, terang benderang saat salah seorang temen gue mengajaknya bercanda. Dia mengeluarkan kata-kata “bingsal (baca : rempong)” dengan nada yang membuat gue bergidik. Gue baru nyadar, intonasi seperti itu persis dengan para pengamen transgender di deket kampus gue :(. Untungnya gue pindah kelas beberapa bulan kemudian.
One day kami disuruh membawa makan misterius. Klunya adalah air putih bersoda dan kentang bergelombang. Ya anak monyet juga tau, air putih bersoda adalah deskripsi untuk “sprite” sementara kentang bergelombang adalah “chitato”. Saat itu gue berharap ada anak cerdas yang memasukkan sodium karbonat ke dalam air mineral, atau seseorang membawa kentang yang digaruk dengan garpu hingga membentuk pola.
Kakak-kakak senior OSIS sering bermain peran. Setelah menjajajaki dunia kampus, gue baru menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh senior di SMA dulu adalah buah dari pendidikan orientasi di kampus. Berbagi peran antar senior, ada agitator, sang bijak bestari, provokator, dan tim hura-hura. Kesemuanya adalah warisan pendidikan selama OSPEK yang sangat mungkin diwariskan kepada siswa SMA.
Yang paling dibenci biasanya peran agitator. Dia harus banyak banyak minum obat penenang, bawaannya marah mulu. Lebih banyak marah daripada ngomongnya, belom ngomong dia udah marah, lagi jelasin dia marah-marah, lagi senyum pun dia marah. Marah sepertinya jadi nama tengah mereka. Kalo marah-marahnya bisa dijadiin duit, gue rasa Chairil Tanjung udah kalah tajir :).
Hakikatnya masa orientasi SMA itu adalah masa masa yang indah. Bisa bertegur sapa dengan ia yang tak pernah terlihat mata. Berkenalan dengan dunia baru, ragam latar belakang, variasi cerita. Justru cerita selama masa itu akan menjadi penggalan kisah yang paling memorable di antara tumpukan soal soal persiapan ujian masuk perguruan tinggi.
Tapi, masa orientasi siswa di Indonesia pada beberapa poin memang absurd level dewa. Apa fungsinya bikin topi dari karton? Musim panas, masih keringetan. Musim dingin, masih keujanan. Itu karton woi kakak senior yang pinter, dimana-mana karton bakalan basah kalo kena air hujan.
Terus bawa tas dari kresek. Itu kan penyebab Global Warming, kata WWF dan U-Green. Penggunaan kresek plastik menjadi salah satu faktor penyebab menipisnya ozon di atmosfer. Lah kalo organisasi konstipasi ini sedang sounding tentang reduksi kantong plastik, kenapa elo malah minta junior melakukan aksi pembangkangan dengan meminta mereka membawa kantong plastik sebagai pengganti tas? IQ? Pengen mencoba jadi siswa bandel?
Belom lagi tetanggga gue yang baru mau masuk SMK bercerita bahwa dia disuruh berpoto bersama kambing. What the heck your mind thinks of? Ngapain poto sama kambing? Apa dengan poto bersama kambing bisa merefleksikan tingkat inteligensia?
Dan pada akhirnya masa orientasi siswa haruslah bertendensi pada peningkatan kepekaan siswa baru terhadap sekolahnya. Meningkatan rasa kecintaan dan kepemilikan sebagai bagian utuh dari rumah yang baru. Di tempat itulah mereka akan tumbuh dan berkembang dari kuncup menjadi bunga yang mekar. Mekar bersama bunga-bunga lainnya, merekah dan merona.
ehehe,, jadi ingat semua ane gan kalo waktu mos mesti dikerjai sama Kakak osis dan panitia ntah suruh nyanyi bahkan ngrayu cewek,, ha
haha..masa lampau ya gan.
jadi kenang-kenangan lucu aj dah 😀