Politik Negeri

Mei 22, 2013 § Tinggalkan komentar

politic

Miris melihat kondisi perpolitikan belakangan ini. Semua tiba-tiba menjadi ahli. Semua ikut andil berbicara. Satu masalah berarti seribu kepala. Keadaan diperparah dengan media yang tendensius, memihak pada yang berhak, memuji pada yang mengabdi. Kebenaran sudah tidak lagi menjadi mutlak, ia berubah relatif. Tergantung pada apa yang melatarbelakangi.

Saling sikut, saling tendang, saling tarik, saling dorong. Semuanya bersifat saling. Kenapa? karena jika lo ga menghajar maka lo yang akan dihajar. Mungkin itu perspektif umum yang melabeli kondisi perpolitikan negeri. Atau memang perilaku tersebut adalah wajah asli demokrasi? Gue tak terlalu mengerti, namun sebagai orang awam kita pasti berteriak.

“Lo ngerasa bener, saat lo sudah ga dianggap salah”

Yang satu merasa terzalimi, yang lain wajib menghakimi. Yang satu menganggap ini adalah konspirasi dan bagian lain menuduh tak mau diadili.

Lakon aneh dari para wayang, bermain drama hingga mabuk kepayang.

Satu pihak diposisikan sudah pasti tersalah, hujat menghujat, hina menghina terus diluncurkan. Media pun ramai membicarakan. Seolah ia pasti salah. Bopeng dan luka terus menganga. Bahkan membela adalah dosa. Ataukah memang lebih baik diam tak bersuara?

Diam pun dijadikan senjata. “Tuh kan, mereka diem aja. Diam itu kan berarti iya”. Hahaha, jika semua gerak adalah sebuah kesalahan. Bahkan diam pun berarti tuduhan. Maka mati bukan lagi menjadi sebuah jawaban.

Tertuduh pun bereaksi. Semua bukti coba digali. Merasa terdzolimi dengan kondisi. Sampai tahap ini semua normal. Bahwa membela adalah sebuah bentuk perlawanan. Bukan semata pencitraan. Namun yang lebih tahu wajib meluruskan opini yang bengkok, yang (dianggap) sengaja disetir  dan bias.

Tapi ada yang mengganjal. Reaksi menjadi berlebihan. Bahkan etika pun dinafikan. Nirakal dan niradab menjadi hal umum yang didengungkan. Perang opini di media sosial sudah tidak lagi menggunakan etika. Mereka lupa dengan Q.S 3:159

Fabima rahmatin minallahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika…”, Maka disebabkan rahman dari Allah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Bahkan prasangka-prasangka lahir dan diungkapkan kepada semesta. Apakah mereka alpa bahwa saat kita tidak mau dihakimi, saat kita tidak mau diprediksi atau saat kita tidak mau dituduhkan dengan alamat negatif, maka jangan melakukan hal yang sama kepada orang lain.

Bahkan menuduh seseorang ahli dosa pasti masuk neraka adalah sebuah dosa. Siapa sangka jika pada akhir masa seorang pendosa, ia bertobat dengan tobat nasuha. Hingga semua dosa terhapuskan, bersih. Lantas mengapa harus tuduh menuduh dengan sesama muslim. Kenapa kita membiarkan hati terdominasi oleh kebencian. Menganggap orang yang mengkritisi adalah para pembenci sementara kita sendiri terselimuti oleh rasa yang sama.

Sudahlah, doa adalah selemah iman. Semoga kita bisa menempatkan perasaan seadil-adil mungkin. Selalu ada jutaan kesempatan untuk berprasangka baik terhadap apa dan siapapun.

Iklan

Tagged: , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Politik Negeri at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: