Kantin-Kantin di ITB
Mei 8, 2013 § 3 Komentar
Berbicara mengenai kampus ITB tidak akan pernah ada habisnya. Terlalu banyak hal menarik dan memorable yang bisa terus dieksplorasi. Kali ini gue akan mencoba mengurai cerita tentang beberapa kantin yang ada di sekitaran ITB. Gue harap apa yang gue ceritain dapat menjadi gambaran bagi adik-adik yang akan melanjutkan studinya di kampus ini atau justru menjadi penyentil kembali ingatan untuk mereka yang mungkin pernah menghabiskan masa-masa terindahnya di Institut Terbaik Bangsa.
Tapi sori, gue ga menceritakan secara detail semua kantin yang ada. Hanya beberapa kantin yang terpilih yang akan gue tulis di sini. Gue akan coba membagi kantin-kantin tersebut berdasarkan teritori, yang ada di dalam kampus dan di luar kampus. Semoga bisa jadi referensi
A. Kantin di dalam kampus
Kantin Bengkok
Kantin bengkok bisa diidiomkan dengan kantinnya mahasiswa jurusan kimia karena secara geografis letak kantin ini bersebelahan persis dengan gedung jurusan MIPA kimia.
Mengapa disebut kantin bengkok?
Gue ga tau persis, bentuk kantin ini juga tidak bengkok sepenuhnya. Alasan yang paling rasional adalah karena terdapat beberapa kursi yang bentuknya bengkok berupa busur. Bisa jadi kantin bengkok berarti kantin yang sebagian besar konsumennya adalah wanita karena Alm Ust Zainudin M.Z pernah berujar bahwa wanita itu bak tulang rusuk yang bengkok. Nah lho!
Kalo misalkan dapet mandatnya, gue bakalan mengubah nama kantin ini menjadi “kantin reaktan” atau “kantin isolasi senyawa kimia”. Lo bayangin aja, ada kantin yang lokasinya berjarak tidak lebih dari 10 meter dengan laboratorium kimia yang berarti hasil buang percobaan laboratorium udah nyampur sama udara di sekitar kantin tersebut.
Kantin bengkok menjual berbagai jenis makanan dan minuman. Harganya sih relatif mahal jika dibandingkan dengan kantin yang ada di luar kampus tapi tergolong sedang-sedang saja jika diadu dengan kantin lain yang berada di dalam kampus. Rasa makanannya pun biasa-biasa saja, malah cenderung sama semua. Ya iyalah, setiap makan di bengkok gue belinya batagor mulu.
Selain tempat makan, bengkok juga menjadi tempat belajar favorit. Mulai dari belajar kelompok, privat hingga belajar mencintai.. tsahhh.
Khusus untuk mahasiswa/i kimia, bengkok juga menjadi lokasi ideal untuk nongkrong setelah lelah beraktifitas di lab seharian. Sekedar bercengkrama dan bercanda kecil di kantin ini mampu melepaskan kepenatan praktikum yang gagal atau ketemu asisten yang galaknya ngalahin singa afrika yang lagi diet.
Bengkok juga menjadi saksi terburu-burunya praktikan menyelesaikan jurnal dan persiapan untuk tes awal sebelum praktikum dimulai. Pokoknya Kantin bengkok benar-benar berkesan.
Kantin Salman
Walau berada di luar kampus, kantin salman masih termasuk teritori ITB karena berada satu lokasi dengan Mesjid Salman ITB.
Kantin Salman identik dengan mahasiswa baru atau mahasiswa Tahap Persiapan Bersama (TPB) yang bisa dengan mudahnya diidentifikasi karena penampilan mereka sangat formal dengan jas, celana bahan dan dasi kupu-kupu. We’re not talking about waitress, dude!. Mahasiswa baru ini kemana-mana memegang text book dengan erat. Text book-nya tidak jauh dari Kalkulus I, II, Kimia Dasarnya pak Hiskia Ahmad atau buku Fisika Dasarnya Tipler. Kalo lagi makan di Kantin salman pun obrolannya seputar UTS, unit, kecengan baru. Jarang-jarang ada mahasiswa baru berdiskusi tentang siapa nama istri keduanya eyang subur.
Mahasiswa baru belum punya basecamp seperti himpunan atau unit. Dengan demikian mereka menjadikan mesjid salman sebagai “tempat bernaung” selain perpustakaan pusat. Secara praktis mereka akan mencari tempat makan terdekat dengan mesjid salman pada jam istirahat. Sehingga sekali dayung, dua tiga properti dibeli. Jam istirahat dapat dihabiskan dengan makan di kantin, sholat dan istirahat di mesjidnya.
Jujur aja nih ye, makanan di kantin salman kurang menggugah selera. Rata-rata rasanya hambar, kurang garem. Entah apa yang gue rasain sama atau tidak dengan yang dirasain anak-anak baru lainnya. Kalo kalian ngerasain apa yang gue rasain berarti masa depan kalian cerah, hahaha.
Mungkin mba-mbak yang masak tahu kalo anak ITB pinter-pinter, jadi ga perlu ditambahin garem di menu masakan. Lah, apa hubungannya ya?
Buat gue dulu, harga makanan di kantin salman tergolong mahal. Berbagai lauk yang dihidangin secara prasmanan terkadang buat gue lupa diri dan ambil semaunya. Hasilnya seminggu kemudian gue cuma makan mie rebus buat makan siang.
Kantin Borju
Nah, keren kan nama kantinnya. Masih inget sama boyband jadul Neo? Itu loh, yang judul lagunya “borju”. Gue rasa personel Neo makan di kantin ini sebelum bikin lagu yang cukup hits di akhir abad 20 tersebut.
Kantin borju berada di Labtek di deket gedung fisika dan GKU barat. Gue lupa nama labteknya. Harga makanan di kantin ini memang termasuk yang paling mahal dari kantin-kantin yang berada di sekitaran ITB. Dulu gue paling takut makan di kantin borju, takut ga bisa bayar. Gue kepikiran kalo makan di sini harus pake jas sama dasi, minimal naek Lexus atau Range Rover.
Ternyata setelah gue cobain, harga makanannya ga semahal yang gue kira. Rasa makanannya pun lebih enak dengan tempat yang lebih nyaman dibanding kantin lain. Bayarnya pun ga perlu pake kartu kredit.
Yang ngasih nama kantin ini sepertinya mengalami sindrom hiperbolik akut karena sudah secara berlebihan memberikan embel-embel borjuis.
Kantin borju akan lebih rasional jika diganti dengan “kantin lebih mahal sedikit dari kantin yang lain”. Alamak, itu nama kantin atau judul sinetron!
Kantin GKU barat
Kantin GKU barat, sesuai namanya kantin ini terletak di gedung kuliah umum (GKU) yang berada di pojokan kampus. GKU barat adalah gedungnya mahasiswa TPB. Gue yakin, kebanyakan anak ITB familiar dengan gedung ini. GKU adalah satu dari lima gedung yang paling populer. Keempat lainnya adalah Oktagon-TVST, Perpustakaan, Masjid-kantin Salman, dan Comlabs.
Kantin GKU barat berada persis di tengah gedungnya. Kantin ini bener-bener strategis. Jadi pada saat mahasiswa baru kelelahan setelah berputer-puter mencari ruangan kelas akibat desain GKU yang sungguh amat sangat memusingkan, mereka tinggal loncat dari lantai empat buat mesen sarapan atau makan siang. Ide bagus, bukan? *bercanda
Harga makanan di GKU barat sedang-sedang saja dengan rasa yang jauh lebih enak dibandingkan kantin Salman. Kalo saja ada Mesjid GKU barat, gue yakin mahasiswa TPB akan move on dari kantin salman.
Dulu, pas gue TPB, ada ibu-ibu kasir yang juteknya minta ampun. Leily Sagita mah lewat. Kalo pembeli adalah raja, maka ibu kasir ini adalah Ibu-nya raja.
Sebenernya masih ada beberapa kantin lagi yang ada di dalam kampus seperti kantin tambang, kantin barak. Tapi gue kurang familiar dengan kantin-kantin tersebut karena memang jarang makan di sana.
B. Kantin di luar kampus
Kantin Gerbang Belakang
Lokasi gedung kimia yang dekat dengan gerbang belakang ITB membuat banyak mahasiswa kimia yang berlari penuh semangat menuju kantin di gerbang belakang guna memenuhi hasrat perut yang sudah lapar akibat seharian praktikum cuma diisi sama aroma etanol dan eter. Memang sih ada kantin bengkok, namun di samping harganya mahal, makan di bengkok juga sama saja memindahkan limbah udara yang sudah bercampur dengan zat-zat buangan reaktan ke dalam perut.
Gue bingung, sama mereka yang menikmati makanan di bengkok. Menu yang mereka makan pastilah nasi goreng asetaldehid, soto ayam benzonfenon, jus kurkumin. Mending makan di kantin belakang ITB, walo sama-sama ga bersih, paling ga harganya lebih murah *hidup mahasiswa 😀
Salah satu tempat favorit di kantin belakang ITB adalah kedai penjual Soto. Soto ayam-telor harganya 6.500. Kuahnya enak, ayamnya pun banyak. Walau memang tempat ini lebih mirip kantin di sekitar lokasi ledakan Chernobyl, berantakan dimana mana. Makannya sambil merem aja biar ga sadar dengan situasi.
Yang khas dari kantin ini adalah bapak penjualnya. Setiap nuangin kuah soto tidak jarang rokoknya tetep nyala dan diselipin di mulut. Rasa gurih kuah soto adalah perpaduan bumbu-bumbu dengan abu rokok ditambah keringet dari tangan si bapak yang memegang pinggiran mangkok soto. Nyummy, isnt it?
Suatu ketika, temen gue bercerita. Di tengah asyik makan di tempat tersebut, ia ngeliat kecoa di dalem mangkok sotonya.
Exactly, it was disgusting cockroach inside your bowl. How do you feel if you undergo that experience? I bet you will vomit.
Tapi apa yang terjadi dengan temen gue? Kecoanya diangkat dari mangkok kemudian dibuang. Dengan santai dia cuma dan hanya minta ganti dengan soto yang baru. Damnnn… mungkin temen gue ini sodaranya Master Limbad.
Cerita ini menyebar dengan cepet, temen-temen di jurusan gue udah pada tau tentang soto ayam plus kecoa. Ada yang langsung bersumpah palapa untuk tidak akan lagi makan di soto tersebut. Tidak sedikit juga yang ngerasa eneg pas denger cerita soto kecoa, namun besoknya mereka dateng lagi dan memesan soto sambil ketawa-ketawa. Seolah mereka mendadak amnesia dengan cerita yang membuat mereka eneg kemarin hari. Yang penting gue bisa makan murah dan enak, bro :D. Daging kecoa juga protein kan?!.
Temen gue yang lain malah dengan santainya bercerita. “Gue kalo makan di sana nyantai aja tuh kalo ada tikus-tikus yang lewat”. Alhamdulillah seumur-umur gue makan disana, belum pernah gue menemukan hewan-hewan tersebut.
Tapi sayang, warung ini sudah tutup sekarang. Bapak… kami kangen soto kecoa. Eh soto ayam maksudnya.
Gelap nyawang
Salah satu tempat favorit anak ITB dengan berbagai latar belakang ekonomi adalah kantin gelap nyawang. Kantin ini juga pernah masuk liputan Pak Bondan yang maknyus itu. Kantin gelap nyawang berupa foodcourt yang berjajar di sepanjang Jalan Ganeca ITB. Lokasinya di luar pagar Mesjid Salman hingga taman ganesha. Berbagai jenis makanan ada di sini. Mulai dari masakan sunda, masakan jawa, masakan padang hingga yang sedikit modern.
Harga makanan di kantin-kantin gelap nyawang sesuai dengan harga kantong mahasiswa, tempatnya pun lebih rapih dan sedikit lebih bersih daripada kantin gerbang belakang.
Makan di sini pun berasa sedang menonton serial “Pendekar rajawali sakti versi 2012”. Soalnya ada banyak wisata kuda di sepanjang jalan yang memisahkan kantin dan masjid salman. Yang namanya kuda, pasti buang air sembarangan dong ya. Kecuali kuda catur. Meskipun kuda-kuda di sepanjang jalan ganeca ini sudah mengenakan “celana”, tetep aja kotoran mereka tercecer. Beginilah nasib kami.
Tapi kondisi sekarang lebih baik, celana kuda tersebut sudah diperbaiki. Sekarang kuda-kuda bisa memilih untuk menggunakan denim atau celana bahan.
Salah satu kantin favorit di gelap nyawang adalah rumah makan padang. Rumah makan padang mengajari kami bagaimana prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Nasi ambil sebanyak mungkin, kuah nya juga, lauk seadanya. Bagi mahasiswa, apalagi di hari tua, banyaknya nasi adalah variable yang paling penting pada saat makan. Sedangkan rasa adalah faktor kesekian. Siapa tahu ga perlu makan malem lagi karena masih kenyang.
Rumah makan padang seolah bener-bener mengerti kebutuhan mahasiswa. Mereka adalah cinta kedua bagi anak kos setelah indomie dan segala turunannya.
Segitu aja sih pengalaman gue dengan kantin-kantin yang ada di ITB. Info terakhir yang gue dapet sih, kantin yang ada di gerbang belakang sudah direnovasi dengan menggunakan bangunan bambu. Jajaran tempat makan dan fotokopi tersebut sudah jauh lebih rapi daripada sebelumnya.
Tagged: gelap nyawang, kantin bengkok, kantin borju, kantin GKU barat, kantin salman, Kantin-kantin di ITB, mesjid salman
Disebut Kantin Bengkok karena dulu di situ berdiri Gedung Bengkok (sesuai namanya, gedung itu bentuknya bengkok). Tahun 2004, beberapa minggu setelah gw jadi mahasiswa ITB, gedung itu diratakan dengan tanah.
Wah, gue angkatan 2006 nih mas jadi ga tau sejarahnya. anw thx mas udah ngasih pencerahan 🙂
Saya lagi cari tmpt nih buat jualan di kantin kampus,apakah masih ada gak ya di ITB? Kalo tahu informasinya,minta di infokan ya mas,mksh sblmnya.