How Hard “R” is!

April 6, 2013 § Tinggalkan komentar

Huruf R oh huruf R

Salah satu “penyesalan” terbesar dalam keberadaan gue di dunia ini adalah gue, dengan penuh khidmat, sangat menyesali ketidakmampuan menyebutkan huruf “r” dengan baik dan benar.

Entah faktor apa yang mempengaruhi seorang manusia mampu/tidak menyebut huruf “r” secara sempurna. Faktor gen, faktor lingkungan, atau mungkin faktor x?. Kalo misalkan faktor gen, berarti ada gen yang mengalami mutasi dong ya? Which means gue adalah salah satu muridnya Professor Xavier. Yoi, gue member X-men dan bakalan jadi temennya Cyclops, wolverine, jean grey dan kawan-kawan. Gue akan mengeluarkan kemampuan “cadel” saat ngelawan magneto. Pfftt…

Setelah bertapa mengharapkan wangsit dari mbah gugel, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan seseorang mengalami “cadel” dan tidak bisa melafalkan “r”

1. Kurang matangnya koordinasi lidah dengan bibir

Alamak, buat ngucapin “r” aja perlu koordinasi. Siapa korlapnya? siapa pletonnya? siapa danlapnya? kalo lidah ga mau ngikutin perintah bibir gimana? salah gue, salah temen-temen gue?

Karena huruf “r” memang sulit diucapin maka diperlukan koordinasi tingkat tinggi antara lidah, bibir dan langit-langit.

2. Kelainan fisiologis

Penyebabnya dibedakan menjadi 3: gangguan pendengaran, gangguan pada otak, gangguan di wilayah mulut. Gue ga akan bahas lebih jauh, karena memang bukan spesifikasi gue.

3. Faktor lingkungan

Para bayi yang baru belajar ngomong juga gagal mengucapkan huruf r dengan baik. “ma ma.. ma ma., abis huyuf ‘l’ teyus huluf apa ya ma?”

Tuh…

Orang tua yang terbiasa menyebutkan benda-benda secara cadel biasanya akan diikuti oleh anak yang baru belajar berbicara. Karena proses berbicara diawali dengan mendengar. Bisa jadi kondisi tersebut membuat sang anak terbiasa dan ngerasa nyaman hingga terbawa sampe dewasa. So dont blame me to be unable pronouncing “r” well…haha *denial

Sebagian toddler mengganti huruf “r” dengan “y” saat berbicara. Imutnya mereka dengan gaya bicara cadel yang natulal (eh natural maksudnya) membuat mereka semakin menggemaskan. Beda halnya dengan alay yang sok tampil unyu. Mereka juga bergaya-gaya lucu ala bayi. Bukankah kata “ciyus” adalah distorsi dari kata “serius”?

Atau ada muda-mudi labil yang berdialog.

“Ayang, peyut (perut) kamu sakit?”| “iya nih ayang, tadi peyut akyu nyangkut di pagel (pager) kantol polisi” *tabok pake kuali*

Lantas apakah kami yang mengalami cadel bawaan adalah bayi bayi yang terjebak dalam tubuh dewasa? Siapa kami sebenernya? Tolong…tolong seseorang jelaskan.

4. Faktor psikologis

Seorang anak secara psikologis bisa “tertular” cadel. Misalnya disebabkan oleh kehadiran adik mereka yang masih bayi yang berbicara dengan cara demikian sehingga anak tersebut bisa jadi ikut-ikutan bicara cadel. Karena perhatian orang tua yang terpecah, maka anak-anak ini akan bertingkah mengimitasi adiknya guna meraih kembali simpati orang tua.

Oke, ga masalah jikalau proses imitasi ini terjadi pada dua orang anak yang selisih usianya ga jauh beda. Jangan sampe kita gagal paham. Mentang mentang pengen dapet perhatian, lo yang udah tua gini ngiri sama adek lo yang masih bayi dan ikut-ikutan ngomong pake bahasa cadel. Lucu ga, eneg iya!!!

Tidak bisa mengartikulasikan huruf “r” secara sempurna, bisa menjadi sebuah “doomed” bagi sebagian orang. Pernah denger kisah cowo yang terus-terusan salah pilih menu hanya karena salah menyebut “nasi goreng” dengan “nasi goyeng”? padahal kan mirip-mirip. Sungguh, ini sebuah ketidakadilan. Dimana mereka, para pejuang Hak Asasi Manusia saat para cadelwan dan cadelwati disakiti? huh…

Selaen itu, sebagus apapun teknik vokal anda, dengan oktaf yang ngalahin Whitney Houston atau Mariah carey, selama menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, suara lo bakalan tetep terdenger jelek. Karena aksen berbahasa Indonesia bisa dengan mudahnya membedakan konsonan “r” dengan non “r”.

Kalo ga percaya, coba deh yang cadel nyanyi lagu berbahasa Indonesia yang mengandung banyak huruf “r” di liriknya. Gue yakin, lagu tersebut lebih bakal kedengeran seperti bunyi kerupuk yang diremukin. kroookk…kriukkk!

Beda halnya kalo orang cadel yang berbahasa perancis. Karena aksen perancis yang kental dengan penekanan pada intonasinya, maka huruf “R” malah seolah menjadi corak artikulasi bahasa perancis. Jadi buat kalian kalian yang gagal ngucapin “r”, jangan panik saudaraku, perancis siap menerima kita dengan tangan terbuka. Welcome eifel :D.

Mengapa huruf “r” harus sulit diucap? Mereka seolah didesain khusus biar kami yang cadel ini digolongkan sebagai manusia berkebutuhan khusus. Andai gue punya doraemon, gue mau minjem kotak pengandaian. Gue pengen berandai-andai, huruf “r” diilangin aja dari dunia.

Jadi kalo ada kalimat “kerupuk keripik dimakan kriuk kriuk” cukup diganti dengan “keupuk keipuk dimakan kiuk kiuk”. Bagus kan??

Jujur gue akui, somehow being cadel person itu kadang ga ngenakin. Perlu kepercayaan diri yang tinggi agar berani tampil di depan umum karena anda akan menjadi pusat perhatian atas penampilan dan apa yang anda sampaikan. Oleh sebab itu, seorang cadel harus belajar mengeluarkan setiap kata dengan sangat lantang.

Mencoba mengaburkan huruf ”r” dalam ucapan hanya membuat pendengar semakin bingung. Pede aja dengan “r” anda.

Dan hal penting lainnya adalah bicara dengan pelan. Karena orang cadel yang berbicara dengan kecepatan maksimum itu seperti superman naek sepatu roda.

Sunda Pisan Lah (F/V/P)

Nyaris enam tahun gue kuliah di kota kembang, Bandung. Oke gue akui dalam keseharian di kampus, sangat jarang mahasiswa ITB menggunakan bahasa sunda mengingat makhluk di kampus ini datang dari sabang sampe merauke. Bahkan dari negara lain pun ada.

Namun tidak jarang dalam dialog warga asli bumi parahyangan, baik itu di kampus maupun di lokasi lainnya, menggunakan bahasa sunda. Gue bisa mengidentifikasi bahasa sunda kasar dan bahasa sunda halus. Selain penggunaan diksi yang cukup berbeda, bahasa sunda kasar juga menyelipkan beberapa kata yang khas seperti “sia” “njing” “koplok maneh”

tah eta.. tong cicing wae maneh. ulah ningali tulisan ieu n*ing

Bahasa seperti ini sebenernya mirip dengan penggunaan kata kata “cuk” “ndasmu” arek suroboyo.

Tapi walaupun secara pendekatan kosakata cukup berbeda, terdapat kesamaan dalam aksen/dialek orang sunda. Yup, seperti yang udah diketahui secara masif bahwa orang sunda sangat sulit menyebutkan hurup “F” dan “V”. Mereka hanya mengenal huruf “P”.

Setelah coba baca-baca artikel, ternyata kesulitan dalam mengucapkan huruf “F” dan “V” dikarenakan tidak terdapat kedua huruf tersebut dalam kosakata bahasa sunda sehingga masyarakatnya pun gamang.

Menurut sejarah, bahasa sundo kuno sudah ada sejak tahun 500 M yang dikenal dengan istilah Kaganga. Dalam kaganga, tidak dikenal huruf  fa dan Va, hanya terdapat huruf “pa”. Bahasa sundo kuno ini kemudian mempengaruhi kemampuan masyarakat sunda dalam melafalkan huruf  “f” dan “v”. Meskipun infiltrasi dari berbagai bahasa mempengaruhi bahasa sunda, namun pikiran sunda tetap mengakar dalam kemampuan linguistik masyarakatnya.

gue yakin banyak orang sunda tidak tahu sejarah ini, hehe 😛

Tapi, hemat gue sih biarin aja orang sunda tidak bisa melapalkan f dan v. Toh itu menjadi ciri khas mereka yang bisa dengan mudah diidentifikasi oleh orang indonesia lainnya. Yang jelas di bioksop-bioskop, tidak akan ada judul pilem semacem “Fast furious” “Final Destination” dan “V for Vendetta” :D.

Sebenernya apa yang terjadi dalam kegagalan melafalkan beberapa huruf juga terjadi di negara lain. Jepang misalnya. Bahasa jepang secara general tidak memiliki alfabet yang persis menyerupai alfabet latin. Kita tidak akan menemukan huruf-huruf yang berdiri sendiri seperti “L” “M” dll. Mereka hanya mengenal suku kata yang dilekatkan pada huruf vokal, karena memang kaidah bahasa mereka tidak begitu mengakrabi huruf konsonan.

Orang jepang menggunakan suku suku kata seperti “Ma” “Mi” “Mu”. Pun halnya mereka tidak tahu huruf tunggal seperti “R” dan “L”. Silabel yang ada adalah “ra” “ri” “ru” “re” “ro” dan pengucapannya pun cukup berbeda dengan “r” yang kita kenal selama ini. Bunyi dari suara tersebut adalah hybrid atau pencampuran fonem dari huruf “L” dan “R”. Oleh karena itu kita sering mendengar bagaimana Chef Harada, Chef asli jepang yang sering nongol di TV, kesulitan menyebutkan kata kata yang ada huruf “L” nya. Lezat terdengar rezat, dsb.

Gitu sih menurut gue. Pelafalan huruf yang mungkin menurut sebagian orang lucu, unik dan ga biasa. Gue sih nyaman nyaman aja. Satu hal lagi, setelah gue amati, orang-orang yang tidak bisa menyebutkan huruf “r” ini biasanya mempunyai nama yang mengandung huruf “r” nya. What a drama!

So which one is harder, to pronounce “R” or “F”? for me, R is the hardest one. I realize how hard “R” is. Just like your initial 😛

Iklan

Tagged: , , , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading How Hard “R” is! at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: