Sederhana itu Bukan Politik

Maret 4, 2013 § Tinggalkan komentar

assalaamu’alaikum wr. wb.

Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada saya. Pertanyaan itu dimulai dengan, “Benarkah Hasan al-Banna dulu menolak dakwah lewat partai politik?” Saya tidak mengerti mengapa saya dianggap pantas untuk menjawab pertanyaan ini. Meski demikian, dengan sedikit pengetahuan dan referensi yang saya miliki seputar sejarah Al-Ikhwan Al-Muslimun, saya akan coba menjawab pertanyaan ini – dan beberapa pertanyaan lanjutannya – sebaik yang saya bisa.

Bagi banyak orang, salah satu referensi utama dalam memahami perjuangan dakwah Hasan al-Banna dan Al-Ikhwan tidak lain adalah kitabMajmu’at ar-Rasail, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam jilid pertamanya, kita dapat menemukan beberapa kritik pedas Hasan al-Banna terhadap parpol-parpol di Mesir dan secara umum juga terhadap sistem multipartai yang berlaku di Mesir pada saat itu. Barangkali, menurut perkiraan saya, uraian inilah yang menjadi acuan sebagian orang yang mengatakan bahwa Hasan al-Banna sejatinya tidak mendukung dakwah kepartaian.

Mengenai politik itu sendiri, sikap Hasan al-Banna cukup jelas, tergambar dengan jelas dalam dua paragraf di bawah ini:

Wahai kaum kami, sungguh ketika kami menyeru kalian, ada Qur’an di tangan kanan kami dan Sunah di tangan kiri kami, serta jejak kaum salaf yang saleh dari putera-putera terbaik umat ini adalah panutan kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajarannya dan kepada hukum-hukumnya. Dan jika orang yang menyeru kalian kepada itu semua kalian katakan sebagai politikus, maka alhamdulillah kami adalah politikus yang paling ulung. JIka kalian ingin menyebut itu sebagai politik, silakan memberi nama apa saja yang kalian suka. Sebab nama sama sekali tidak penting bagi kami, selama muatan dan tujuannya jelas.

Wahai kaum kami, janganlah hendaknya kata-kata menghalangi kalian dari melihat kebenaran, jangan pula nama menghijab kalian dari tujuan. Jangan sampai kemasan (bungkus) menghijab kalian dari muatannya yang hakiki. Jangan sampai itu semua terjadi. Sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami. Kami tidak menginginkan pengganti apa pun selain itu, maka pimpinlah diri kalian dengan politik itu dan ajaklah orang lain melakukan yang serupa, niscaya kalian akan memperoleh kehormatan di akhirat. Dan suatu saat kalian pasti akan tahu tentang kebenaran kabar ini.

Mengenai partai-partai politik yang ada di Mesir, Hasan al-Banna berkomentar:

Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum.

Selanjutnya, Hasan al-Banna pun menjelaskan apa yang telah dilakukannya:

…sejak setahun yang lalu Ikhwan sudah menyerukan kepada para pemimpin partai untuk menghilangkan permusuhan semacam ini dan berusaha untuk bersatu antara yang satu dengan yang lain. Sebagaimana Ikhwan juga mengusulkan kepada Amir Muhammad Ali Basya dan Umar Thusun agar bersikap moderat dalam masalah ini. Sebagaimana Ikhwan juga menghimbau kepada raja agar membubarkan partai-partai yang ada ini, sehingga mereka bergabung menjadi satu dalam sebuah partai rakyat yang berbuat untuk kemaslahatan umat di atas kaidah-kaidah Islam.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dari kutipan-kutipan di atas. Pertama, Hasan al-Banna menegaskan bahwa dirinya tidak anti dengan dunia politik, bahkan ia meyakini bahwa dalam Islam ada politik, yaitu politik yang mengarahkan manusia pada kebajikan. Adapun di luar itu bukanlah politik yang diyakini dan diinginkan oleh beliau.

Kedua, Hasan al-Banna pun menjelaskan – memang dengan agak implisit – bahwa dalam banyak hal, termasuk dakwah, ada hal-hal yang merupakan ‘kemasan’, ada pula yang merupakan ‘tujuan’. Dakwah tidak mesti ‘dikemas’ dengan cara-cara konvensional, misalnya di mimbar khutbah dan semacamnya, namun juga boleh dilakukan lewat jalur politik. Apa pun kemasannya, jika muatannya jelas dan prakteknya tidak bertentangan dengan Islam, maka kita tidak perlu alergi melihatnya.

Ketiga, berdasarkan pandangan Hasan al-Banna yang cenderung keras terhadap parpol-parpol di Mesir, perlu kita garisbawahi satu kenyataan, yaitu bahwa pandangan tersebut didasarkan atas pengamatan beliau terhadap sistem multipartai yang saat itu berlaku di Mesir. Usulan pembubaran partai-partai tersebut diajukan demi melihat fenomena parpol-parpol yang saling sikut dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit dalam kehidupan rakyat Mesir. Demi kemaslahatan bersama, dalam pandangan Hasan al-Banna pada waktu itu, alangkah baiknya jika parpol-parpol tersebut dibubarkan saja. Hal ini diuraikan secara panjang lebar oleh Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iydalam bukunyaPemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun. Referensi berharga lainnya dapat dilihat dalam fatwa-fatwa kontemporer Syaikh Yusuf al-Qaradhawi yang menganalogikan sistem multipartai dengan multimazhab.

Keempat, sebagai konsekuensi dari aspek ketiga di atas, yaitu bahwa sikap Hasan al-Banna tersebut (yang menghendaki pembubaran parpol-parpol) tidaklah final atau tidak mungkin berubah. Paling tidak, ada dua kemungkinan yang bisa menyebabkan perubahan sikap tersebut, yaitu: (1) jika parpol-parpol tidak bersikap seperti yang disebutkan oleh Hasan al-Banna di atas, yaitu menebar permusuhan dan hanya mementingkan ambisi pribadi, dan (2) jika nasihat untuk pembubaran parpol tersebut nampaknya tidak efektif, sehingga dimungkinkan untuk mengambil inisiatif dalam bentuk yang lain lagi.

Yang terakhir inilah yang kemudian terjadi, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iy. Pada Muktamar Keenam Al-Ikhwan Al-Muslimun di Kairo, 1361 H, Al-Ikhwan memutuskan untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Syaikh Taufiq Yusuf al-Wa’iy menulis:

…tinggallah kini bagaimana dakwah yang mulia ini sampai di wilayah dan medan resmi. Maka jalan yang paling dekat untuk sampai di sana adalah “mimbar parlemen”. Karena itu, Al-Ikhwan mendorong para orator dan dainya untuk naik ke mimbar ini guna menyampaikan kalimat dakwah dari atasnya, agar sampai di telinga para wakil umat di wilayah resmi dan terbatas ini, setelah ia tersebar dan sampai di tengah umat dalam wilayah terbuka masyarakat. Karena itu, Maktab Al-Irsyad memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.

Sejak awal, sikap Al-Ikhwan terhadap dunia politik memang merupakan ijtihad yang bergantung pada situasi dan kondisi. Ini bukanlah ranah yang ‘penuh kepastian’ seperti masalah kewajiban shalat, shaum, zakat dan semacamnya, yang sudah dapat dipastikan kewajibannya dan dapat dipastikan pula keharaman meninggalkannya. Perjuangan dakwah melalui jalur kepartaian tidak mesti dilakukan, dan tidak mesti pula sekonyong-konyong diharamkan sepenuhnya. Ada berbagai pertimbangan kondisional yang mesti diambil sebelum kita menyatakan sikap terhadap sistem ini, sebab kondisinya memang tidak selalu ideal. Jika kondisi berganti, maka ijtihad pun sangat dimungkinkan dapat berubah. Selain itu, faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap itu pun tidak hanya satu, dan karenanya, menuntut dilakukannya kajian yang komprehensif.

Pertanyaan Lanjutan: Kepada Mursi

Setelah pertanyaan perihal sikap Hasan al-Banna dan Al-Ikhwan terhadap kepartaian tuntas dijawab, pertanyaan berlanjut kepada kondisi kontemporer jaman sekarang, yaitu sikap Dr. Muhammad Mursi, Presiden Mesir kini, terhadap kondisi politik di negerinya. Secara spesifik, pertanyaannya adalah: “Mengapa Mursi tidak mengubah sistem yang berlaku sekarang dengan khilafah, padahal Mursi sudah berkuasa?”

Hemat saya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang bertanya, pertanyaan ini seolah mengabaikan begitu saja kompleksitas dunia politik dengan melakukan simplifikasi melalui kata-kata “berkuasa” atau “kekuasaan”. Benarkah Mursi adalah ‘penguasa’ Mesir? Sebesar apa ‘kekuasaannya’? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab agar kita mengerti duduk persoalannya.

Ketika menulis buku Dr. Mursi, Presiden yang Hafal Qur’an, saya mendapat beberapa tugas yang spesifik. Salah satu bagian yang menjadi tanggung jawab saya adalah memaparkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh Mursi setelah menduduki posisi nomor satu di Mesir. Sebagian di antaranya akan saya uraikan di sini untuk menggambarkan duduk persoalan yang sesungguhnya.

Pertama, kita perlu memahami realita ‘kemenangan Mursi’ yang sesungguhnya. Kemenangan tersebut bukanlah dominasi mutlak, bahkan untuk mencapainya, diperlukan dua tahap Pemilu. Pada putaran pertama, dari jumlah total suara lebih dari 23 juta, Mursi mendapatkan 5,7 juta suara, atau sekitar 25%-nya saja. Pesaing terdekatnya, yaitu Ahmed Shafiq, mendapatkan 5,5 juta suara. Pada putaran kedua, Mursi kembali berhasil mengalahkan kompetitornya lagi, namun dengan selisih suara sekitar tiga persen saja. Jadi, kemenangan Mursi dalam Pemilu tidak serta-merta menjadikannya ‘berkuasa’ atau memiliki kekuasaan yang absolut, apalagi jika kita memperhitungkan bahwa tidak semua warga Mesir berpartisipasi dalam Pemilu.

Kedua, kita perlu mempertimbangkan latar belakang para pendukung Mursi di kedua putaran tersebut, terutama di putaran kedua. Dari mana tambahan suara Mursi di putaran kedua berasal? Adakah jumlah pendukung Mursi ‘benar-benar bertambah’, ataukah di dalamnya juga ada kelompok yang hanya memilih Mursi karena tidak menginginkan Shafiq menjadi Presiden? Di Indonesia pun, sebagian dari rekan-rekan Salafi ada yang menyatakan dirinya siap untuk memilih Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar sekiranya Pilkada Jabar sampai berlanjut ke putaran kedua, demi untuk mencegah kepemimpinan perempuan, yang dalam hal ini adalah kandidat ‘juara kedua’ dalam pilkada tersebut, yaitu Rieke Dyah Pitaloka. Dengan demikian, sikap ‘memilih yang lebih baik dari dua hal yang dianggap kurang ideal’ atau ‘asal bukan Shafiq’ pun bukannya tidak mungkin menjadi pendorong dipilihnya Mursi oleh beberapa kelompok masyarakat Mesir. Kelompok-kelompok ini, yang nyaris bisa dianggap sama seperti ‘massa mengambang’, perlu dirangkul oleh Mursi agar menjadi pendukungnya yang sejati. Tantangan semacam ini tidaklah ringan.

Ketiga, pemerintahan Mursi pun ‘terjepit’ di antara dua kondisi. Di satu sisi, ia dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi amanah Revolusi 2011, yang bagian terpentingnya adalah menegakkan keadilan pada kelompok rejim Husni Mubarak yang telah menzalimi rakyat Mesir selama bertahun-tahun lamanya. Di sisi lain, kekuatan militer era Husni Mubarak masih ada dan masih memiliki kekuatan yang nyata. Jika Mursi hendak ‘menghabisi’ kelompok ini tanpa ampun, maka ia akan menghadapi perlawanan yang sangat berat dan mengambil risiko yang paling berat bagi pemimpin mana pun, yaitu tumpahnya darah rakyat. Oleh karena itu, dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, Mursi harus senantiasa berhati-hati agar tidak merusak rasa keadilan masyarakat yang menuntut pembalasan, namun tidak juga membuka front dengan pihak militer. Mursi sendiri memberi teladan dengan tidak memperpanjang masalah dengan para petinggi militer yang pernah menjadikannya tahanan di penjara. Dengan cara itu, Mursi berhasil mengubah lawan menjadi kawan, meski hanya sebagian.

Itulah sebagian tantangan yang mesti dihadapi Mursi dari sejumlah hal yang saya uraikan secara panjang lebar dalam buku Dr. Mursi, Presiden yang Hafal Qur’an. Di samping itu, masih ada beberapa tantangan lain yang perlu dipahami secara komprehensif agar kita tidak terjebak dalam oversimplifikasi.

Pada hakikatnya, kemenangan Mursi adalah kemenangan dakwah. Meski demikian, kemenangan itu hanyalah kemenangan kecil yang merupakan ‘batu loncatan’ menuju sebuah kemenangan besar di akhir perjalanannya. Naiknya Mursi ke kursi kepresidenan pun sebelumnya telah didahului oleh batu-batu loncatan yang sangat banyak. Sejak dimulainya dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun di tahun 1928, telah terentang masa lebih dari delapan puluh tahun sebelum akhirnya Al-Ikhwan mampu menghapus diskriminasi atas dirinya dan mendudukkan salah satu kader terbaiknya di kursi kepresidenan. Semua itu adalah proses yang tidak sederhana, karena tidak ada yang sederhana dalam politik.

Setelah kemenangan Mursi, situasi pun tidak serta-merta menjadi sederhana. Mursi tidak dengan mudah saja bisa mengubah sistem secara total, melainkan mesti bertahap. Untuk melakukan perubahan secara bertahap pun, Mursi masih harus berhadapan dengan kelompok-kelompok pro-Mubarak. Di Indonesia, kita pun kerap menerima pemberitaan yang tidak benar seputar Mursi, sebagai akibat dari dominasi kekuatan sekuler di media massa internasional. Bahkan ada pula harakah Islam yang tidak mampu menahan diri dan mencela Mursi karena menutup terowongan-terowongan yang menghubungkan Mesir dengan Gaza. Padahal, terowongan-terowongan itu ditutup karena memang pintu perbatasan telah dibuka oleh Mursi. Jika pintu bisa dibuka, mengapa harus menjebol dinding untuk masuk?

Beginilah politik. Tak ada yang sederhana dalam politik, dan politik itu memang tidak pernah sederhana, sehingga bisa dipastikan bahwa yang sederhana itu pastilah bukan politik. Politik tidak mungkin dianalisis secara hitam-putih belaka, dengan sikap seolah-olah hanya ada dua pilihan yang mungkin diambil, dengan mengabaikan sepenuhnya kemungkinan untuk mengambil pilihan yang lebih banyak kemaslahatannya atau yang lebih sedikit kemudharatannya.

Jika perubahan total secara tiba-tiba itu yang diinginkan, maka itu adalah revolusi yang dapat dengan mudah mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah. Begitu pun, revolusi tidak mungkin dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui sebuah proses yang panjang, meski ‘di bawah tanah’. Pertumpahan darah sesama Muslim, meski melawan penguasa yang zalim, adalah opsi yang sangat dihindari oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun dan gerakan-gerakan dakwah lainnya.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Originally copied from here

Iklan

Tagged: , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Sederhana itu Bukan Politik at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: