Wanita

Oktober 16, 2012 § Tinggalkan komentar

Sesaat gw mendengar percakapan via telepon salah seorang rekan di kantor, dengan mesranya berbicara kepada sang anak yang masih balita, mereka bercanda dan tertawa

Gw  berpikir apakah komunikasi ibu-anak lewat telepon dapat dibenarkan? sementara sebagian besar waktu sang ibu tersita oleh jam kerja. Meskipun cinta tak terhalangi oleh dimensi ruang

What a mess

Apakah seorang wanita bisa memegang dua peranan sekaligus sama baiknya, sebagai ibu dan seorang wanita karir? Di saat waktu sang ibu didominasi oleh pekerjaan yang melelahkan demi kemajuan kantor, paling tidak 40 jam dalam seminggu.

Menjadi seorang ibu adalah peranan yang luar biasa bagi wanita. Ibu masa kini sudah bemetamorfosa. Tidak sedikit yang menjalankan peran seorang istri dan ibu namun juga sebagai wanita karir dengan segala dinamika dunia kerja.  

Menjadi seorang ibu yang juga bekerja adalah sebuah tanggung jawab yang luar biasa berat. Terlebih jika anak yang harus ditinggal setiap harinya masih benar-benar butuh pengawasan secara langsung. Perdebatan tentang perlu-tidaknya, penting-tidaknya peran ganda yang diperankan oleh seorang wanita pasti terus terjadi. Setiap orang berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing.

Bagi mereka yang pro terhadap pentingnya seorang wanita bekerja memiliki persepsi bahwa, wanita bekerja sebagai sebuah investasi atau persiapan jika kelak, suatu ketika sang suami mendapati musibah dan tidak lagi mampu berperan sebagai kepala rumah tangga. Terlepas itu meninggal atau memang lemah secara fisik.

Tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa, seorang wanita harus aktif, bahkan ketika dia menjadi seorang ibu. Biasanya gaung ini banyak didengungkan oleh aktifis HAM yang menuntut kesetaraan gender. Mereka tidak ingin seorang wanita terkungkung oleh dogma ”sumur-dapur-kasur”. Tiga kata yang memang menjadi domain kaum hawa. Mereka ingin membuat wanita jauh lebih dinamis, lebih progressif daripada hanya sekedar duduk manis mengurusi rumah dan sang buah hati.

Lain lagi dengan pihak yang memiliki argumen bersebrangan terkait pentingnya seorang wanita bekerja.

Bagi mereka bekerja adalah wilayah seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Pembagian porsi antara suami-istri adalah mutlak. Suami bekerja, istri menjaga keluarga. Pola yang dipakai terkesan kuno, konvensional. Tapi dengan begitu mereka beranggapan bahwa pola tersebut yang seharusnya hadir dalam kehidupan berumah tangga.

Asumsi bahwa seorang wanita harus bekerja agar mem-back up peran suami seandainya hal-hal buruk terjadi, tidak masuk dalam alternatif. Suami tidak hanya mencukupi kebutuhan keluarga saat ini, tapi juga nanti.

Selain kedua argumen di atas, tidak sedikit ibu rumah tangga yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga namun masih menyempatkan dirinya untuk bekerja. Bekerja seperti apa?

Mereka cenderung selektif dalam memilih pekerjaan. Bukan bekerja yang harus membuat si kecil menunggu kepulangan sang ibu di depan pintu, bukan pula pekerjaan yang menghilangkan harapan sang buah hati saat menghadapi ujian. Bukan, bukan pekerjaan yang begitu menyita waktu.

What men wants

Ibu-ibu yang memilih langkah ini, dengan restu suami tentunya, cenderung memilih berbisnis atau freelance. Dengan demikian, mereka tidak harus kelabakan ketika tahu si kecil sedang tidak nafsu makan, atau sulit mendapatkan teman.

Apa yang gw deskripsikan di atas adalah contoh-contoh yang terjadi di sekitar kita. Tidak semuanya sesuai atau persis dengan apa yang disimpulkan. Di luar sana pasti ada sosok wanita karir yang dapat menyelaraskan kehidupan rumah tangga dan kehidupan kantornya.. Entah bagaimana mereka melakukannya, yang jelas itu akan sangat sulit. Pasti ada masa-masa si kecil yang hilang yang tidak terlewatkan bersama.

Pasti ada masa dimana sang pembantu mengetahui lebih awal kemajuan pertumbuhan anak, betapapun cerdasnya sang bunda mengatur dan membagi waktu.

Salah seorang, yang gw lupa siapa, pernah berujar

hanya sedikit waktu bagi orang tua untuk menyaksikan dan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan buah hati, karena pada masanya anak-anak tersebut akan memiliki dunia mereka sendiri. Dan saat itu kita akan kehilangan momen indah untuk bersama mereka. Menuju dewasa, mereka akan memilih sahabat tempat mengadu daripada berlari menuju kepada seorang ibu. Tidak akan lagi terdengar rengekan-rengekan kecil, bentuk curhat mereka saat lapar. Oleh karena itu, pergunakan waktu terbaik bersama sang buah hati.”

Sekali lagi, cerita ini hanyalah generalisasi. Bedakan dengan kasus-kasus anomali.

Gw belum pernah mendengar, menyaksikan kasus-kasus dimana kehadiran orang tua terutama ibu yang mendominasi hari-hari seorang anak menghasilkan generasi yang cacat, baik secara mental ataupun moral.

Kenapa? Karena rumah adalah madrasah pertama, dan orang tua adalah guru yang paling utama.

Karena setiap orang memiliki latar belakang kehidupan berbeda, silahkan pilih jalan mana yang akan dilalui. Yang penting dan harus selalu diingat adalah, masa masa terbaik menyaksikan tumbuh kembangnya anak tercinta tidak akan pernah bisa diulang, bahkan hingga kita melipatgandakan semua harta dan menggadaikannya.

Jangan lupa, menjadi ibu adalah pekerjaan paling mulia bagi seorang wanita. Ibu adalah guru dalam setiap disiplin ilmu. Ibu adalah manajer yang mengatur dan menata pola hidup keluarga hingga lebih rapih. Ibu adalah sahabat paling setia, yang siap mendengar semua cerita dan keluh kesah.

Iklan

Tagged: , , , ,

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Wanita at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: