Journey to Bima (Part One)

Desember 16, 2011 § 1 Komentar

Here I am. Standing in a “something” Island. Nusa Tenggara Barat (NTB) is  a province where Bima is located.

10.00 PM our small plane depart on Sultan Salahudin Airport. Alhamdulillah, after spending two and half hours we reach Bima. Its airport is so tiny and simple. It is worth for a small town. Dijemput sama orang KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) Kabupaten Bima dan ikut nebeng kendaraan mereka. Gw milih duduk di belakang pengen ngeliat situasi kota bima dan menyentuh (asekkk) angin lembutnya.

Bandara dan saya 🙂

Setibanya di KKP kabupaten Bima kami bertemu pihak-pihak terkait. Setelah ngobrol basa basi kami akan diantar ke lokasi keesokan harinya. So, kami harus menginap terlebih dahulu di hotel pada hari itu. Ngarepnya sih dibayarin soalnya gesture bapak itu yang menawarkan kami menginap di hotel seolah kami akan difasilitasi. Daripada gantung, gw tanya aja bapaknya langsug via sms

Gue : “pak, kita hotelnya dibayarin ga”
Orang KKP  :  “Dinas tidak punya dana untuk akomodasi”
Gue : (nelen ludah)

Ya udah lah, itung-itung pelesiran. Kapan lagi nginep di hotel kabupaten Bima.

Hotel Lila Graha

To reach our village, we must spent two hours with great route. Berasa lagi Tour de France soalnya kudu naek gunung, turun gunung, di seberangnya jurang. Perasaan Ninja Hattori aja ga seribet itu deh jalannya.

Setelah dua jam menempuh perjalanan darat tibalah tibalah kami di Desa pertama yang harus dikunjungi yaitu di Desa Dumu. Desa ini terdiri dari dusun-dusun yang letaknya saling berjauhan satu sama lain. Desa ini tidak mendapatkan fasilitas listrik dari PLN. Hanya beberapa rumah yang terang benderang saat malam hari. Rumah-rumah tersebut mendapatkan bantuan solar cell dari pemerintah beberapa tahun lalu. Tapi memang hanya segelintir rumah saja yang menikmati fasilitas tersebut. Selebihnya bersenda gurau ria dengan cahaya bulan dan bintang.

Beberapa kilometer dari Desa Dumu terdapat satu buah desa lagi yang terletak paling timur kecamatan Langgudu, namanya adalah Desa Kangga. Akses jalan menuju desa tersebut sangat jelek. Belom diaspal dan berbatu. Terik matahari yang menyengat menambah berat perjalanan tersebut.

Setiba di Kangga kami langsung  mengunjungi rumah kepala desa yang menjadi base camp alias tempat nginep selama kami berada di desa. Kepala desanya masih sangat muda dan paling muda se-kabupaten bima. Bayangkan (bayangin woi, jangan dilanjutin dulu bacanya) dalam usia 29 tahun ia sudah bisa menjadi pemimpin tertinggi di desa tersebut. Pak kepala desa hanya tinggal berdua dengan istrinya so kami tidak terlalu merepotkan mengingat keluarga kecil itu hanya akan diganggu oleh dua orang makhluk dari pulau seberang.

Where I live at

Setelah rehat sejenak di rumah kepala desa kami langsung bergegas menuju area dimana sumur dan instalasi alat dibangun. Sesampainya di lokasi kami sangat terkejut melihat lokasi tersebut masih nihil tanda-tanda pekerjaan. Sontak saja kami kaget melihat kondisi tersebut. Lalu kami menuju ke desa Dumu untuk melihat kondisi sumur di desa tersebut. Di desa ini kondisinya sedikit lebih baik daripada yang terdapat di Desa Kangga. Sumur sudah digali, hanya saja memang belum banyak airnya.

Lokasi Sumur Kangga

Bukan lubang buaya

Menghabiskan waktu bermalam di desa dengan penerangan seadanya memang sebuah pengalaman yang seru. Walo pun ada listrik tapi tetep gelep yang dominan. Belom lagi sulitnya mendapatkan sinyal telepon. Untuk bisa menggunakan handphone kami harus mendatangi pantai sambil rebut-rebutan sinyal dengan pemuda-pemuda asli desa yang juga berburu sinyal. Sekali sinyal dapet jangan pernah beranjak di tempat tersebut. Habiskan waktumu dengan handphone kesayangan sampe lo bosen buat sms an, bbm an dan nelpon. Melangkah sedikit saja artinya lo dengan ikhlas memberikan sinyal telepon ke orang lain dan itu rasanya sakit banget.. *mulai lebay*

Searching for signal

My partner

Jangan bicarakan internet di tempat gw tinggal. Internet itu barang langka. Sama langkanya dengan batagor, mpek-mpek dan tentunya air bersih.
Air bersih untuk dikonsumsi sulit banget nyarinya. Kalo air minum gampang dicari yah ngapain kita ke sana. Warga di sini punya sumur yang airnya bener-bener multifungsi. Pake mandi, bisa. Pake nyuci juga bisa. Dan yang lebih gaib yaitu dipake buat minum. Dimasak? ohhh, tentunya tidak. Mereka sudah terbiasa minum air sumur langsung tanpa diolah kecuali mau bikin teh atau kopi. Karena sudah terbiasa mungkin tubuh mengadaptasi kuman-kuman yang ada di air sumur tersebut. Secara fisik mungkin tidak terjadi perubahan bagi penikmat air sumur tapi mungkin mereka menderita penyakit yang ga keliatan sekarang.
Tapi selalu ada hikmah di balik peristiwa yang terjadi. Segala keterbatasan yang gw peroleh saat hidup di desa selama beberapa hari membuat gw jauh lebih bersyukur dengan kehidupan ini. Betapa beruntungnya kehidupan yang ada selama ini. Mau minum tinggal mompa air dari galon, mau mandi tinggal jebar-jebur aja, mau nonton, ngenet, nelpon semuanya ada. Saat pulsa modem abis, saat listik mati, saat pegawai PDAM lagi mogok kerja mungkin kita bisa merasakan gimana menderitanya kehidupan tanpa fasilitas itu yang sebenernya keadaan tersebut udah jadi makanan sehari-hari penduduk di sekitar desa ini dan mungkin di desa-desa lainnya.
Yah kesimpulannya sih gw ngerasa bersyukur aja bisa ngerasain pengalaman ini. Ternyata ga ada berisiknya Televisi, hebohnya internet dan ramenya telepon bisa memberikan sensasi baru. Tidur lebih cepet, lebih tenang dan tentunya lebih gelap… hehe
Iklan

Tagged: , ,

§ One Response to Journey to Bima (Part One)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

What’s this?

You are currently reading Journey to Bima (Part One) at I Think, I Read, I Write.

meta

%d blogger menyukai ini: