TPB memilih
Februari 2, 2010 § Tinggalkan komentar
TPB memilih???
Dalam sidang kongres yang diadakan senin malam, 1 Februari 2010 yang dihadiri oleh 21 senator dari berbagai lembaga dan perwakilan dari lembaga lainnya kongres KM ITB memutuskan secara aklamasi bahwa mahasiswa Tahap Persiapan Bersama (TPB) Institut Teknologi Bandung belum memiliki hak memilih pada pemilihan umum presiden dan MWA Keluarga Mahasiswa ITB. Keputusan ini diperoleh berdasarkan musyawarah yang panjang, berlarut-larut dan sangat melelahkan.
TPB memilih menjadi topik yang telah dilempar ke massa untuk dibahas di lembaganya masing-masing sejak beberapa bulan yang lalu. Akan tetapi dalam keberjalanannya domain ini tidak mendapat cukup respon positif dari massa kampus. Meskipun begitu kajian yang dilakukan oleh kongres dengan masukan dari berbagai lembaga yang masih concern dengan masalah ini tetap rutin dilakukan. Setiap tesis yang keluar akan selalu ada antithesis yang melemahkan sehingga masalah TPB memilih menjadi bola panas yang sangat runyam. Di sisi lain kajian berulang yang dilakukan oleh kongres memberikan pencerdasan-pencerdasan dan membuka semua tabir kealpaan yang selama ini membelenggu massa kampus mengenai mengapa seorang mahasiswa Tahap Persiapan Bersama tidak boleh memilih.
Diskusi panjang yang dihasilkan akhirnya mengerucut pada sebuah tendensi bahwa tidak ada lagi hal yang bisa menghalangi TPB untuk memilih. Semua tesis yang menyatakan TPB tidak boleh memilih telah terbantahkan. Faktor TPB kurang cerdas dalam memilih, takut menjadi swing voter, tidak adanya upaya pencerdasan TPB telah menjadi isu konvensional yang pada akhirnya mandul dan tidak produktif. Konklusi yang dihasilkan oleh kongres 09/10 memberikan sebuah ruang gerak lebih bagi TPB untuk tetap mampu menjalankan demokrasi seperti pihak lainnya yang mengaku dirinya “lebih cerdas”.
TPB dengan segala kelebihannya diharapkan mampu untuk memberikan suaranya agar legitimasi seorang presiden lebih kuat. Oleh karena itu berbagai upaya pencerdasan TPB telah dilakukan oleh menteri PSDM dengan kembali pada referensi atau landasan pengkaderan yang dimiliki kemahasiswaan ITB yakni rancangan umum kaderisasi (RUK). Karena tidak ada batasan yang jelas mengenai harus seberapa cerdaskah seorang TPB boleh memilih sehingga mampu menyamakan suhu dengan kakak-kakaknya mengenai kemahasiswaan maka RUK menjadi landasan utama seorang TPB diizinkan memiliki hak suara. Dari enam poin yang termaktub dalam profil RUK tingkat satu, kementrian PSDM hanya mengejar tiga poin saja sebagai parameter kecerdasan seorang TPB untuk memilih. Untuk mencapai langkah tersebut PSDM telah melakukan berbagai upaya yang diclusterkan menjadi tiga bagian dalam upaya memparameterisasi kecerdasan TPB dalam memilih yakni evaluasi PRO-KM, kuesioner yang dibagikan secara random serta dinamisasi TPB itu sendiri. Setelah dievaluasi ternyata TPB memang bisa dikatakan siap untuk memilih tahun ini.
Dengan segala persiapan yang ada ternyata beberapa lembaga masih mempertanyakan kelayakan TPB untuk memilih tahun ini. Sebagian beranggapan bahwa terlalu dini untuk memberikan kesempatan bagi TPB memilih karena persiapan yang dilakukan terkesan masih prematur dan tergesa-gesa. Masih perlu waktu untuk mempersiapkan seorang mahasiswa tingkat satu sebelum siap memilih. Salah satu faktor yang melemahkan TPB memilih adalah tidak adanya interaksi antara senator himpunan yang ada di fakultas dalam upaya pencerdasan TPB dalam memilih. Interaksi antara himpunan dan mahasiswa yang ada di fakultasnya secara kultural dilakukan dengan kaderisasi wilayah. Akan tetapi pada pelaksanaannya hanya beberapa fakultas saja yang melakukan upaya-upaya pencerdasan bagi mahasiswa yang ada di fakultasnya.
Dengan segala asumsi yang disampaikan pihak yang “menolak” TPB memilih tahun ini menyetujui adanya upaya lebih yang dilakukan semua lembaga dengan senator fakultas dan kementrian PSDA sebagai corongnya serta peran serta pihak lain guna menyiapkan calon kader himpunan (baca : TPB) untuk memilih dalam Pemilihan Raya tahun depan. Karena sejatinya belum diberikan kesempatan kepada TPB untuk memilih disebabkan oleh kelemahan dan ketidakmampuan angkatan yang lebih tua mempersiapkan TPB, mencerdaskan TPB sehingga lebih baik dan lebih layak dalam menyampaikan aspirasinya dengan diberikannya hak pilih tersebut.
Semua senator yang hadir pada malam tersebut menyamakan persepsi bahwa memang TPB memiliki hak yang sama untuk memilih. Constraint yang menghambat TPB untuk memilih telah terlewati dan tidak ada lagi alasan TPB untuk tidak memilih. Kemudian yang masih dipertanyakan oleh senator adalah sudah siapkah segala upaya yang dilakukan untuk mendinamisasi TPB dalam memilih. Poin ini yang menjadi simpang siur. Dari 21 orang senator, 12 menyatakan bahwa TPB tahun ini sudah layak untuk memilih dengan semua variabel pendukungnya. Sementara 9 orang senator sisanya menyatakan bahwa TPB boleh memilih tapi tidak untuk tahun ini. Perubahan AD/ART mengharuskan suara sah harus mencapai 2/3 dari jumlah minimal 3/4 senator yang hadir. 2/3 dari 21 adalah 14 orang, dengan kenyataan tersebut maka peraturan kembali pada landasan awal TPB belum memiliki hak suara untuk tahun ini.
Saya pribadi sebagai senator utusan himpunan AMISCA menyatakan bahwa TPB siap untuk memilih tahun ini. Keyakinan saya ini berpangkal pada upaya-upaya pencerdasan yang dilakukan untuk TPB sudah cukup baik. Dengan segala dinamika yang terjadi pada mahasiswa TPB tampaknya patut bagi TPB untuk memberikan suaranya. Bagi saya, memilih seorang calon pemimpin kampus ini tidaklah serumit yang dibayangkan. Seandainya saja pemilihan presiden dan MWA memerlukan pemahaman tentang kemahasiswaan yang mendalam maka hanya segelintir orang saja yang memiliki hak pilih. Himpunan yang digadang-gadang sebagai gerbang utama dalam upaya pencerdasan massanya untuk memilih ternyata tidak seideal itu.
Jika ada pernyataan yang mengungkapkan bahwa jika massa himpunan ternyata tidak tercerdaskan oleh himpunannya maka itu adalah kelemahan himpunan itu sendiri, saya akan kembali bertanya bisakah kita menunjukkan himpunan ideal yang mampu memberikan parameter yang jelas tentang seberapa baikkah massanya telah tercerdaskan tentang kemahasiswaan. Dengan demikian himpunan ini bisa menjadi role model bagi himpunan lain guna mencapai tujuan mulianya untuk memberikan pemahaman yang cukup guna memilih seorang presiden. Bila jawabannya sudah ada himpunan yang seperti itu maka tolong sampaikan pada himpunan lain. Akan tetapi bila sebaliknya maka sudah sepatutnya pemilihan seorang presiden dan MWA wakil mahasiswa tidak perlu diperumit.
Ini pendapat saya pribadi. Silakan teman-teman kritisi.
Tinggalkan Balasan